Sabtu, 09 Juni 2012

TEOLOGI PEMBEBASAN dan GERAKAN MAHASISWA


TEOLOGI PEMBEBASAN dan GERAKAN MAHASISWA

Gerakan mahasiswa pada era rezim diktator Soeharto hingga saat ini, tidak sedikit pula yang memberikan label bahwa gerakan liberal mulai mengembang. Stigmatisasi kaum radikal mulai menjamur pada kalangan bawah (masyarakat biasa) dan menebarkan wahyu pemberontakan, juga hal yang sempat menjadi mitos terbesar dalam setiap gerakan mahasiswa. Namun tidak kalah banyaknya opini, bahwa mahasiswa Indonesia yang radikal dan progressiv dari berbagai lingkungan sosial serta lintas kultur mulai memainkan perannya, fungsi sosialnya melalui gerakan-gerakan pembebasan.
Linkungan sosial di Indonesia mayoritas bangsa Indonesia yang religiusitasnya tinggi, menjadikan gerakan mahasiswa dengan misi pembebasannya dari penindasan totaliter Soeharto mendapatkan stereotip positif. Khususnya bagi umat Islam. Terideologisasi oleh teologi pembebasan. Tetapi di sini tidak berupaya untuk meng-klaim, bahwa gerakan penggusuran simbol orde baru (Soeharto) yang represif itu merupakan hasil kesadaran umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia.
Namun bila berbicara formasi sosial yang menindas dari rezim Soeharto, berekses lebih pada pemeluk Islam dan membentuk bola salju atas pegerakan pembebasan yang digulirkan oleh intelektual muda Indonesia merupakan bentuk geneologis dari violence yang dilakukan negara (state). Adanya sosial gap, kaya-miskin dan tumbuhnya konflik horisontal adalah, anak kandung dari kebijakan pemerintah maupun negara yang timpang. Tidak adanya pemerataan kesejahteraan sosial.
Kemiskinan absolut yang  bersumber pada minimnya pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan relatif yang merupakan akibat pertumbuhan ekonomi, menjadi abstraksi sosial yang nyata di Indonesia. Melalui “ideologi” pembangunan nasional, rezim Soeharto membangun kemiskinan dan krisis multi dimensional hingga sekarang. Kemiskinan adalah, sesuatu bisa (racun) disatu sisi dan memberi madu pada sisi lain.
Monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme sedari sang diktator Soeharto sampai saat ini merupakan komoditas yang surplus. Relasinya dengan tekstual teologi pembebasan yang bersinggungan dengan wacana agama sangat jelas yaitu, pembebasan aspek atau dimensi sosial dari teologi pembebasan melarang keras adanya eksploitasi dan manipulasi diberbagai bidang, baik secara fisik maupun psikis oleh dan/atau siapapun.
Bentangan relevansi dalam tulisan ini diberikan dapatlah disisipkan contoh seperti, dalam bidang ekonomi praktek riba dan monopoli yang mengedepankan nilai lebih dilarang keras (Qs. Al Baqarah 275-278). Segala bentuk zakat, infaq dan sedekah merupakan sugesti yang baik dan benar agar manusia tidak teralienasi atas dirinya dari lingkungan sekitarnya dan tidak mengadakan penimbunan harta yang mengakibatkan surplus yang pada akhirnya secara langsung mengeksploitasi manusia lainnya.
Hal lainnya yang dapat dijadikan pijakan identifikasi nilai-nilai teologi pembebasan yaitu, manusia memiliki hak untuk hidup, manusia memiliki hak untuk bereproduksi, manusia memiliki hak untuk berpikir bebas dan manusia memiliki hak untuk mendapatkan keadilan. Empat pointer ini merupakan nilai-nilai teologi pembebasan dalam ajaran agama Islam yang mungkin juga merupakan ajaran agama-agama lain di dunia.
Ada atau tidaknya korelasi antara pergerakan kaum intelektual muda atau mahasiswa dengan teologi pembebasan masih perlu dicari validitasnya dan kebenarannya. Namun jikalau berbicara humanitas, yang lekat juga dengan ajaran agama yang menjadi nilai-nilai teologi pembebasan dari pergerakan  pembebasan untuk menciptakan perubahan sosial, yang dilancarkan mahasiswa bersama rakyat mungkin bukanlah hubungan yang insidental pula.
Intinya perubahan harus tetap ada, apapun alasannya dan seperti apa perubahan yang menjadi kebutuhan mahasiswa ? Perubahan yang mendasar, Revolusi Sosial !!!

Tiga puluh dua tahun lebih rezim Orde Baru (Soeharto sebagai personifikasi Orde Baru, serta Militer dan Golkar sebagai manifestasi ORBA, dan berbagai kroni di ekonomi maupun di birokrasi) berkuasa. selama itu pula berbagai tindak kejahatan dan pelanggaran HAM dilakukan guna mempertahankan kekuasaan,dan menumpuk harta kekayaan.

Dan Ketika Reformasi digulirkan pada 1998 ternyata tidak memberikan satu bentuk perubahan berupa apapun kepada Rakyat negeri ini selain hanya pergantian kekuasaan di tingkat elit yang masih merupakan kekuatan Orang-orang lama

Berbagai kasus kejahatan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Rezim Orde Baru sampai saat ini tidak ada satupun yang dapat diungkapkan dan diberikan keadilan oleh Mekanisme Hukum Positif Negara yang merupakan mekanisme hukum buatan rezim Orde Baru.

"Ketika Mekanisme Hukum Positif Sudah Tidak Mampu Mencerminkan Dan Memberikan Rasa Keadilan Pada Rakyat, Maka Diperlukan Suatu Mekanisme Hulum Alternatif  Yang Mampu Memberikan Yang Hak pada Rakyat Juga Sebagai Solusi Untuk Keluar Dari Berbagai Persoalan Bangsa Saat Ini "

* * * * * * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar