AKAR-AKAR PENGGUSURAN
Mengapa Penggusuran Terus Terjadi
di Berbagai Kota
di Asia:
Isu penggusuran selalu saja hangat dibicarakan: kian banyak
jaringan bergerak di seputar isu ini kian banyak peraturan yang mengatur soal
penggusuran, diskusi bertaraf international semakin sering digelar, dan
kampanye-kampanye tingkat dunia kian sering terlontar untuk menentang
penggusuran. Belum pernah ada kesadaran tentang isu penggusuran sebesar
sekarang. Toh demikian, penggusuran terus meningkat di Asia yang kemudian menyebabkan
hilangnya tempat tinggal, kemiskinan dan penderitaan yang pedihnya jauh
melampaui pendudukan oleh Jengis Khan, kaisar China. Penggusuran terhadap
pemukiman informal (=pemukiman yang dibangun sendiri oleh rakyat) telah menjadi
salah satu penyebab utama kemiskinan di perkotaan dan menjadi masalah
terpenting di milenium ini. Di Asia sepanjang tahun 2001 dan 2002, 1,8 juta
manusia kehilangan tempat tinggal akibat penggusuran, dan sebanyak 3,9 juta
nyawa terancam menjadi korban berikutnya. Apa sih yang menjadi penyebab utama
penggusuran besar-besaran ini?
1. Meningkatnya urbanisasi:
Dulu, pemukiman informal diperbolehkan hadir di kota-kota berdasarkan
kesepakatan saling membutuhkan. Namun, ketika laju urbanisasi kian cepat dan
semakin banyak orang dan investasi mengalir ke kota-kota, pemukiman informal
tidak lagi dapat diterima karena dunia formal semakin menguasai ruang yang
mereka duduki untuk pembangunan. Penguasaan lahan untuk pembangunan ini kian
menjadi-jadi, hingga penggusuran terjadi sedikit demi sedikit. Penggusuran
mencapai puncaknya ketika muncul globalisasi, spekulasi dan adanya modal
keuangan internasional yang tidak terbatas, dan akibatnya, pertentangan antara
sektor formal dan informal kian meruncing.
2. Mega Proyek (Pembangunan)
infrastuktur yang dibiayai oleh lembaga-lembaga donor pembangunan
internasional atau kerjasama antara pengusaha lokal dan perusahaan
internasional menyebabkan maraknya penggusuran di Asia. Proyek-proyek itu terus
berjalan, meski sebagian besar proyek ini tidak digagas secara matang,
digelembungkan nilai kontraknya (mark up), dan tidak terlalu berguna untuk
masyarakat, kelompok masyarakat (LSM) dan warga negara yang akan menanggung
biayanya.
3. Politisasi Tanah:
kongkalingkong antara kontraktor/pengembang, birokrat, dan politisi tengah
berusaha menyingkirkan orang-orang miskin dari lokasi yang bernilai tinggi,
acapkali disertai dengan pelanggaran prosedur dan hukum. Di tempat itu biasanya
akan dibangun perumahan mewah atau lahan komersial lainnya. Kongkalingkong ini
juga sering memanipulasi berbagai rancangan proyek pembangunan yang akan
menyebabkan penggusuran, sehingga memudahkan penggunaan lahan sesuai tujuan
mereka. Pihak pengembang mendanai partai politik dan kandidat-kandidatnya untuk
pemilu tingkat nasional, provinsi dan kabupaten, dan dengan demikian memberi
ruang pada mereka untuk mempengaruhi lorong-lorong kekuasaan. Para politisi
memanipulasi sejarah tanah, menguasai tanah yang menjadi sengketa, mempengaruhi
dan mengotak-atik perencanaan kota
yang dirasa bertentangan dengan kepentingan mereka.
4. Tidak adanya hukum yang
melindungi masyarakat dan menjamin hak bertempat tinggal atau kurangnya
aturan tentang prosedur penerapan hukum itu di sebagian besar negara Asia. Meski hukum yang baik itu ada, pelanggaran terhadap
hukum itu tetap ditolerir karena senjangnya hubungan kekuasaan yang dibangun
oleh komunitas miskin dengan lobi-lobi politik yang dibangun oleh tiga sekawan:
pengembang-birokrat-politikus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar