William C. Chittick
State University of
New York, USA
Abstrak
Karya-karya filosofis Mulla Sadra
terutama ditujukan untuk memetakan jalan
dalam pencapaian kesempurnaan jiwa manusia. Beberapa kontribusinya yang
terkenal dalam kosa kata filosofis, misalnya “kemenduaan sistematis” (systematic ambiguity, tasykik)
eksistensi [ii]) dan “gerakan substansial,”
[iii]) telah memberikan bantuan
yang sangat signifikan dalam menjelaskan bagaimana jiwa memasuki alam ini
melalui korporealisasi dan bagaimana jiwa meninggalkan alam ini melalui
spiritualisasi. Mulla Sadra yang telah melakukan penelitian yang luar biasa
terhadap dalil-dalil untuk menilai kebenaran (modalities) tentang pengalaman alam akhirat, telah membuktikan
keinginannya untuk menjelaskan segala kemungkinan yang terbuka bagi jiwa
manusia. Untuk memahami penjelasan persepsi di dalam semua karya Mulla Sadra,
terlebih dahulu harus dipahami arah dan tujuan persepsi serta sifat-sifat
kesempurnaannya. Secara alamiah, jiwa itu mampu mempersepsi. Namun, beberapa
jenis persepsi yang dimiliki oleh jiwa hewani tidak cukup dalam pencapaian
kesempurnaan manusia, walaupun persepsi tersebut tetap menjadi sifat esensial
bagi jiwa. Usaha-usaha manusia untuk menghilangkan segala kekurangan persepsi
memegang peranan penting di dalam upaya penyempurnaan jiwa. Disini, konsep yang
mungkin paling penting adalah tajrid,
“keterlepasan,” yang menunjukkan upaya pembebasan persepsi dari semua bentuk
godaan bentuk-bentuk materi dan berusaha melatih persepsi untuk terfokus pada
hakikat bentuk tersebut, yakni bentuk-bentuk di dalam wujud akal yang terlepas
dan “terpisah” (mufariq) dari setiap
jenis keterhubungan dengan wujud materi. Tujuan akhirnya adalah perubahan
persepsi melalui perkembangan akal pahaman (acquired
intellect) yang sempurna. Setelah itu, jiwa akan mampu memahami
bentuk-bentuk hakiki dari setiap maujud, termasuk alam tak berbatas di hari
akhir nanti.
************
D
|
i dalam filsafat modern, kata
persepsi biasanya merujuk pada sensasi pisik. Namun beberapa filosof awal
sering memahami istilah ini dalam arti yang lebih luas, sebagaimana yang
didasarkan pada makna dasar dari bahasa Latin percipio. Demikian juga, para filosof Muslim pun membicarakan
masalah persepsi – dengan menggunakan istilah bahasa Arab idrak – dalam pengertian yang lebih luas. Bagi mereka, persepsi
berarti pemahaman dan pencapaian pengetahuan dengan berbagai cara, mulai dari
pemahaman terhadap binatang sampai pada pengetahuan tentang Tuhan, dalam
berbagai tingkatan yang berbeda-beda, dari sensasi pisik sampai penampakan
akal.
Di dalam filsafat Mulla Sadra,
konsep persepsi memegang peranan yang sangat penting di dalam menjelaskan
sifat-sifat wujud dan menganalisis tujuan hidup manusia. Hal ini sesuai dengan
kenyataan bahwa filsafat Mulla Sadra cenderung sebagai “psikologi” dari sudut
pandang filsafat pra-modern. Dengan kata lain, Sadra mencoba untuk menyediakan
suatu pandangan yang menyeluruh terhadap hakikat manusia beserta seluruh
cabang-cabangnya dan memberikan pemetaan jalan bagi diri manusia untuk dapat
mencapai puncak tertinggi dari semua kemungkinannya, yakni kemungkinan yang
berakar pada kemampuannya untuk memahami segala sesuatu.
Persepsi
Pada bagian akhir dari bagian
pertama empat kitab al-Asfar, Mulla
Sadra memberikan berbagai defenisi sekitar tiga puluh kata yang dianggap perlu
di dalam mendiskusikan modalitas pengetahuan (al-‘ilm). Dalam daftar kata tersebut, Mulla Sadra menempatkan kata
“persepsi” sebagai kata pertama. Di dalam mendefenisikannya, Mulla Sadra
memulai penjelasannya dengan makna literal kata persepsi tersebut. Sebagaimana
yang terdapat di dalam banyak kamus bahasa Arab, memang kata “persepsi” ini
memiliki banyak makna, seperti halnya perolehan (attaining), pencapaian (reaching),
kedatangan (arriving), penangkapan (catching), penggenggaman (grasping), pemahaman (comprehending), dan kecerdasan (discerning). Mulla Sadra menulis,
Idrak adalah “perjumpaan (liqa’)
dan kedatangan (wusul).” Ketika potensi akal sampai pada kuiditas [iv]) pahaman akal dan
mencapainya, inilah yang disebut persepsi. Di dalam filsafat, makna yang
dimaksud dalam suatu kata berhubungan dengan makna harfiahnya. Artinya,
persepsi dan perjumpaan yang benar hanyalah perjumpaan dalam pengertian ini,
yakni persepsi oleh pengetahuan. Perjumpaan dalam pengertian pisik bukanlah
perjumpaan yang sebenarnya. (al-Asfar
3:507, 323.31) 1)
Sebelum sampai pada pembahasan
selanjutnya, terlebih dahulu kita harus menyinggung beberapa issu yang muncul
dari defenisi persepsi ini. Seperti filosof Muslim yang lain, Mulla Sadra juga
menganalisa diri manusia (human self)
dengan membaginya dalam berbagai fakultas. Namun di dalam bahasa Arab, kata
“fakultas” diterjemahkan menjadi “quwwah”
yang juga bisa berarti “potensialitas,” suatu kata yang maknanya diperlawankan
dengan “aktualitas.” Dengan demikian, setiap fakultas pada saat yang sama juga
adalah suatu potensialitas; dengan kata lain, quwwah pun dapat diterjemahkan sebagai “potensi.” Dua pengertian
ini memiliki makna yang sangat penting di dalam semua karya-karya Mulla Sadra,
karena analisis-analisisnya terhadap jiwa manusia sangat tergantung pada suatu
pandangan yang menganggap jiwa manusia sebagai suatu potensialitas besar yang
mengarahkan setiap potensialitas yang lain yang diberi nama sesuai dengan
fakultas-fakultas tersebut.
Di dalam defenisi persepsi ini,
Mulla Sadra memaksudkan bahwa kekuatan dan potensi diri untuk mengetahuai
adalah dengan “potensi akal” (intellective
potency). Ketika kekuatan ini mencapai suatu objek, maka ia akan bergerak
dari potensialitas ke aktualitas. Adapun derajat aktualitas yang dicapainya
menjadi tema dasar yang harus dijelaskan selanjutnya.
Di dalam defenisi ini, Mulla
Sadra mengatakan bahwa melalui persepsi, potensi akal akan sampai pada
“kuiditas” sesuatu. Dengan kata lain, ketika persepsi terjadi, kita sampai pada
pengetahuan “apa” yang menjadi objek persepsi tersebut. Demikian juga, Mulla
Sadra menekankan di dalam kata kedua pada daftar kata atau istilah teknis yang
dibuatnya, yakni kata syu’ur atau
“kesadaran,” bahwa persepsi memerlukan pengetahuan terhadap kuiditas sesuatu.
Menurutnya, kesadaran adalah pemahaman sesuatu tanpa “pencapaian kestabilan” (achieving fixity, istitsbat), yakni
tanpa (perlu) mengetahui dengan pasti (ascertain)
tentang keapaan sesuatu. 2)
Mulla Sadra menambahkan, “kesadaran adalah tingkatan pertama dari kedatangan
pengetahuan pada potensi akal. Dengan demikian, kesadaran hanyalah persepsi
yang belum stabil. Itulah karenanya tidak dikatakan bahwa Allah ‘sadar’
terhadap segala sesuatu” (3:508, 323.34), tetapi dikatakan bahwa Dia ‘memahami’
segala sesuatu.
Sesuatu yang dipahami adalah
suatu “pahaman akal” (intelligible),
yakni suatu objek yang diketahui oleh akal (intelligence).
[v]) Pahaman akal disebut
“bentuk” (surah) sesuatu. Disini,
‘bentuk’ tersebut diperlawankan dengan ‘materi’ (maddah), yakni yang bukan pahaman akal (unintelligible) di dalam
dirinya sendiri. Sesuatu yang bisa kita dapat pahami dengan sebenarnya
adalah ‘bentuk,’ bukan materi. [vi])
Akhirnya, di dalam defenisi ini
Mulla Sadra ingin menegaskan bahwa idrak
yang sebenarnya – yakni perolehan, pencapaian, kedatangan, dan perjumpaan yang
sebenarnya – berhubungan dengan pengetahuan dan bukan dengan tubuh pisik. Hal
ini mengingatkan kita bahwa persepsi terhadap sesuatu yang benar akan tercapai
jika pelaku akal (intelligent agent)
bertemu dengan objek pahaman akal (intelligible
object). Setiap perolehan yang sifatnya pisik hanya akan cepat hilang dan
cepat berlalu. Demikian juga, pada tingkat tertentu, nilai kebenaran suatu
persepsi yang ‘dikotori’ oleh materialitas pisik akan menjadi tidak sempurna,
karena ‘bentuk’ yang dipahami akan dikaburkan oleh media persepsi dan situasi
eksternal objek yang dipersepsi tersebut.
Tingkatan-tingkatan Persepsi
Pada daftar istilah penting yang
sama, Mulla Sadra juga memberikan defenisi lain yang dapat membantu kita dalam
memahami tujuan akhir dari suatu persepsi. Istilah tersebut adalah “dzihn”
yang artinya “pikiran.” [vii]) Mulla Sadra menulis, “Pikiran adalah potensi
jiwa untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang belum pernah dicapai
sebelumnya.” (3:515, 325.35).
Dengan mengikuti pandangan umum
filsafat Islam-Yunani (Graeco-Islamic),
Mulla Sadra memahami bahwa jiwa atau diri manusia mempunyai beberapa fakultas
dan tingkatan-tingkatan aktualisasi yang dimulai dari tingkatan tumbuhan dan
hewan. Jiwa tersebut mengatualkan dirinya melalui potensi pemahamannya. Tujuan
jiwa di dalam wujudnya adalah untuk bergerak dari potensi mengetahui ke
mengetahui secara aktual. Ketika pengetahuan potensialnya menjadi benar-benar
aktual, ia tidak lagi disebut sebagai ‘jiwa,’ ia sudah menjadi ‘akal,’ atau
‘akal dalam perbuatan.’ Dalam pandangan Mulla Sadra, potensi jiwa manusia untuk
mencapai pengetahuan aktual disebut ‘pikiran.’
Pikiran dapat mengetahui segala
sesuatu melalui persepsi. “Persepsi” adalah penyebutan bagi perbuatan yang
dilakukan oleh jiwa untuk mengetahui, apapun objek yang diketahuinya. Jika kita
memandang persepsi dari sisi ‘yang mempersepsi,’ maka persepsi tersebut
mempunyai empat jenis dasar. Dalam setiap persepsi, pikiran bertemu dengan
‘bentuk’ sesuatu, yakni kuiditas atau realitas akalnya, bukan materinya. Namun,
keempat persepsi tersebut mempunyai keadaan yang berbeda-beda dalam
masing-masing ‘pertemuannya.’ Perbedaan-perbedaan tersebut berhubungan dengan
instrumen persepsi dan modalitas eksistensi objek yang dipersepsi (perceptible’s existence).
Tingkatan persepsi yang pertama
adalah persepsi indra (al-hiss). Pada
tingkatan ini bentuk objek persepsi mewujud di dalam materi, dan yang
mempersepsi menemukan bentuk tersebut di dalam wujud-wujud material. Pada
dasarnya wujud dari objek-objek tersebut adalah aksiden-aksiden [viii]) Aristotelian, misalnya
kuantitas, kualitas, waktu, tempat, dan keadaan. Di dalam eksistensi
eksternalnya sebagai sesuatu, bentuk tersebut terpisah dari atribut-atribut
aksidental, dan sebenarnya melalui atribut-atribut itulah kita dapat memahami
objek tersebut melalui indra. Dan materi yang menjadi wadah tempat bentuk
tersebut mewujud, tidak akan pernah dapat dipahami dalam hakikat kemateriannya,
karena ia adalah eksistensi yang terjauh dan paling gelap, suatu wujud yang
hampir tidak akan bisa diketahui secara tepat sampai kapanpun.
Tingkatan persepsi yang kedua
adalah imajinasi (khayal, takhayyul)
yang sebenarnya juga mempersepsi objek-objek indrawi dalam semua karakteristik
dan kualitasnya. Namun, berbeda dengan persepsi indra, imajinasi dapat memahami
suatu objek tanpa perlu mensyaratkan kehadiran objek tersebut bagi indra.
Tingkatan persepsi yang ketiga
adalah wahm. (Para filosof) abad
pertengahan menterjemahkan kata ini sebagai “estimao,” tetapi pemikir modern tidak sependapat dengan makna yang
sebenarnya dari kata ini dan bagaimana menterjemahkannya ke dalam bahasa
Inggris (yang tepat). Saya (W.C. Chittick, ed.) sendiri menterjemahkannya
sebagai “intuisi indra” (sense intuition),
hanya untuk memaksudkan statusnya sebagai perantara antara akal dan indra. [ix]) Menurut Mulla Sadra, wahm adalah persepsi dalam makna pahaman
akal tetapi pensifatan makna tersebut adalah sesuatu yang partikular, sesuatu
yang bersifat indrawi. Di dalam intuisi indra, jiwa memahami sesuatu yang
universal, tetapi masih di dalam suatu partikular dan bukan universal itu
sendiri.
Tingkatan persepsi yang tertinggi
adalah inteleksi (ta’aqqul), [x]) yakni persepsi terhadap
kuiditas sesuatu dan bukan yang lain. 3)
Apa yang membedakan
tingkatan-tingkatan persepsi tersebut adalah derajat “keterlepasan” (disengagement, tajarrud), suatu istilah yang memiliki makna penting di dalam
tulisan-tulisan Mulla Sadra. Sekali lagi, tajarrud
adalah salah satu istilah dimana pemikir modern tidak sependapat dalam
menerjemahkannya. Umumnya, kata ini diterjemahkan sebagai “abstraksi,” suatu
kata yang mengaburkan makna kata tajarrud
yang sebenarnya. 4)
Sesuatu “yang terlepas” bukan hanya bebas dan berada di luar materi, tetapi
juga berada di dalam suatu wilayah eksistensi dan kesadaran yang kuat. Secara
umum, di dalam filsafat Islam, beberapa konsep yang menjelaskan tujuan akhir
penyempurnaan manusia, telah memaknai kata tajarrud
ini dengan makna yang lebih signifikan. Di dalam arti yang sebenarnya, tajarrud ini dinisbatkan (hanya) kepada
Allah, yakni Wujud Wajib dalam diriNya sendiri, karena (hanya) Wujud Wajib-lah
yang tidak memiliki keterhubungan maupun keterikatan dengan apapun selain
diriNya sendiri. Dalam pengertian yang lebih khusus lagi, tajarrud adalah atribut akal yang mampu melihat segala sesuatu
dalam hakikatnya, yakni tanpa gangguan kekaburan yang disebabkan oleh imajinasi
dan persepsi indra. 5) Tajarrud
ini juga menjadi atribut [xi]) dari bentuk-bentuk atau
kuiditas-kudiditas yang dipahami oleh akal.
Menurut Mulla Sadra, empat
tingkatan persepsi harus dibedakan berdasarkan derajat keterlepasan yang
dicapai oleh objek-objek persepsi (perceptibles).
Tingkatan pertama, yakni persepsi
indra, dapat dipahami di dalam tiga kondisi yang ditentukan oleh
sifat-sifatnya: pertama, materi harus hadir pada instrumen persepsi, yakni
bahwa jiwa memahami sesuatu secara eksternal di dalam wujud materialnya. Kedua,
bentuk sesuatu tertutupi oleh kualitas-kualitas dan sifat-sifatnya yang bisa
dipahami. Ketiga, sesuatu yang dipersepsi secara indrawi adalah sesuatu yang
partikular, bukan universal.
Pada tingkatan kedua, yakni
imajinasi, objek-objek persepsi terlepas dari syarat pertama dari tiga syarat
pada persepsi indra, yakni objek tersebut terlepas dari wujud material karena
kehadiran eksternal sesuatu dalam persepsi imajinasi tidak dipersyaratkan.
Pada tingkatan ketiga,
objek-objek intuisi indra terlepas dari wujud material maupun kualitas-kualitas
dan sifat-sifat khususnya.
Pada tingkatan terakhir,
objek-objek pahaman akal terlepas dari ketiga syarat di atas, karena akal hanya
memahami objek-objek universal. 6)
Mulla Sadra menyimpulkan
penjelasannya tentang tingkatan-tingkatan persepsi dengan mengatakan bahwa
keempat tingkatan tersebut dapat direduksi menjadi tiga saja, karena baik
imajinasi maupun intuisi indra, keduanya merupakan penghubung antara akal dan
indra. 7)
Tingkatan-tingkatan Wujud
Tiga tingkatan persepsi – indra,
imajinasi dan akal – bersesuaian dengan
tiga alam yang terdapat di alam eksternal. Ketiga alam tersebut adalah alam
pisik, alam imajinasi, dan alam akal. Pembahasan tentang tingkatan-tingkatan
persepsi tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan tentang tingkatan-tingkatan
wujud. Jika hanya ada satu tingkatan wujud saja, maka hanya akan ada satu
persepsi yang sangat sederhana. Dan kenyataannya, demikianlah pandangan
sebagian filsafat modern. Dengan mereduksi persepsi hanya sebagai sensasi [xii]) saja, maka hal itu akan
menghilangkan wilayah imajinal dan spiritual
yang merupakan bagian yang sangat penting di dalam perbincangan filosofis.
Dalam membicarakan
tingkatan-tingkatan wujud, yang dimaksud dengan “wujud” dalam hal ini adalah
wujud mungkin, atau wujud formal dan terbatas, bukan Wujud Wajib. Wujud di dalam
dirinya adalah realitas dasar segala sesuatu, dan oleh karena itu ia di atas
semua alam dan di atas semua tingkatan. Di dalam dirinya, wujud tetap tidak
akan bisa dicapai, dipersepsi, dan diketahui. Namun, wujud tersebut mempunyai
derajat-derajat kekuatan dan kelemahan. Kita dapat mengetahuinya melalui
pemahaman tidak langsung di dalam berbagai modalitas tertentu. Semakin tinggi
realitas wujud tersebut, ia akan semakin terlepas dari materi serta segala
kondisi dan karakteristik sesuatu. Demikian juga, persepsi yang memahami
tingkatan (wujud) yang lebih tinggi akan lebih kuat dan semakin langsung.
Setiap tingkatan wujud secara
tipikal disebut sebuah “alam” (‘alam),
dan keseluruhan tingkatan-tingkatan alam disebut “kosmos” atau “alam semesta.”
Sederhananya, pembicaraan tentang alam adalah pembicaraan tentang pengetahuan
dan persepsi. Di dalam bahasa Arab, cakupan ini juga terkandung di dalam kata ‘alam itu sendiri. Secara etimologi, kata
‘alam mempunyai akar kata yang sama
dengan ‘ilm yang artinya pengetahuan.
Para ahli kosa kata mengatakan bahwa makna dasar dari “alam” adalah “yang
melaluinya seseorang bisa mengetahui.” Dengan demikian, “alam” secara
keseluruhan adalah maujud yang didefenisikan dan dianggap sebagai objek
pengetahuan. Artinya, setiap alam atau tingkatan di dalam keseluruhannya
didefenisikan melalui jenis persepsi yang menjadikannya sebagai objek
pengetahuan. Kenyataan bahwa terdapat tiga jenis persepsi, diambil dari suatu
pahaman bahwa terdapat tiga maujud dasar yang bisa menjadi objek pengetahuan.
Salah satu penjelasan Mulla Sadra
yang lebih detail tentang alam ini terdapat di dalam suatu bagian dari kitab al-Asfar yang berjudul “Tentang
Pembagian Pengetahuan,” yakni “ilmu” atau modalitas-modalitas di dalam
pengetahuan. Pada tempat ini Mulla Sadra menjelaskan bahwa realitas pengetahuan
merujuk pada “wujud formal,” yakni realitas wujud di dalam bentuk-bentuk yang
tampak bagi persepsi. Mulla Sadra kemudian mengatakan bahwa wujud formal
mempunyai tiga pembagian – sempurna, cukup, dan kurang. Wujud sempurna adalah
bentuk-bentuk pahaman akal serta akal-akal yang ‘terlepas.’ Wujud yang cukup
adalah bentuk-bentuk jiwa, yang juga disebut ‘alam imajinasi.’ Wujud yang
kurang adalah bentuk-bentuk indra, yang merupakan ‘bentuk-bentuk yang berada di
dalam dan terikat dengan materi.’ (3:501, 322.10)
Setelah menjelaskan tiga
tingkatan wujud formal, Mulla Sadra kemudian membicarakan tingkatan keempat,
yakni materi pisik yang mengalami transformasi dan pembaruan secara terus
menerus. Karena materi pisik tenggelam di dalam non-wujud, kemungkinan,
kontingensi dan kegelapan, maka ia tidak dapat diketahui walaupun ia tetap
disebut sebagai ‘wujud.’ Sebagai contoh, Mulla Sadra menyebutkan waktu dan
gerak. 8)
Di dalam menjelaskan perbedaan
keempat wujud tadi, Mulla Sadra mengatakan bahwa keempatnya berbeda di dalam
intensitas dan kelemahan wujudnya. Semakin kuat modalitas wujud sesuatu,
semakin terlepas wujud tersebut dari kesementaraan alam materi. Semakin
terlepas wujud tersebut, semakin ia mendekati wujud akal karena ia semakin
murni di dalam dirinya. Setiap alam yang lebih rendah daripada alam
kesempurnaan dan alam akal akan tenggelam di dalam derajat-derajat kekeruhan
dan dan kegelapan yang disebabkan oleh kejamakan, ketersebaran, keterpisahan
dan ketidakjelasan. 9)
Kehadiran (Hudhuri)
Kunci untuk memahami konsep
persepsi di dalam pemikiran Mulla Sadra adalah pemahaman terhadap konsepnya
tentang wujud. Harus diingat baik-baik bahwa kata ‘eksistensi’ (existence) bukanlah kata yang tepat
untuk menerjemahkan kata ‘wujud’ dalam bahasa Arab, bahkan juga kata ‘ada’ (being) untuk menggantikan kata
‘eksistensi’ tersebut. [xiii]) Salah satu bagian yang
penting di dalam mendiskusikan masalah wujud yang tidak dapat diterjemahkan
secara tepat ini adalah kenyataan bahwa kata ‘wujud’ itu sendiri mensyaratkan
kesadaran dan persepsi. [xiv]) Makna literal dari ‘wujud’
adalah ‘perolehan’ (finding) dan
‘yang diperoleh’ (being found), [xv]) suatu pengertian yang
lebih ditekankan di dalam tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi dan pengikut-pengikutnya,
sumber yang sangat diakrabi oleh Mulla Sadra dan bahkan menjadi rujukan yang
sering dikutipnya.
Namun, bukan hanya pemikir
sufistik yang mensyaratkan bahwa wujud memerlukan kesadaran dan pengetahuan.
Bahkan, seorang filosof Hellenis sekalipun, seperti Afdal al-Din Kasyani (m.
sekitar 610H / 1213M) yang tidak memiliki hubungan dengan Ibn ‘Arabi serta
banyak menulis karyanya di dalam bahasa Persia, juga menggunakan dua syarat
dari kata wujud ini (yakni kesadaran dan pengetahuan, ed.) di dalam membagi
wujud ke dalam dua alam dasar. 10)
Wujud pertama dalam pembagian ini adalah ‘yang ada’ (being, hasti) tanpa
kesadaran dan pengetahuan; dan wujud yang kedua adalah wujud yang disertai
“perolehan” (yaft). Sebagai
penjelasan tambahan, bahwa Baba Afdal (Afdal al-Din Kasyani, ed.) menggunakan
kata yaft dalam bahasa Persia bukan
hanya sebagai sinonim dari kata wujud dalam tingkatannya yang lebih tinggi,
tetapi juga sebagai sinonim dari kata persepsi (idrak). Afdal menjelaskan bahwa alam yang tampak kepada kita
sebagai ‘ada’ biasanya melalui objek-objek benda mati, sedangkan alam perolehan
dan persepsi tampak melalui wujud jiwa dan akal.
Jika kita sudah memahami bahwa
persepsi dan perolehan adalah sesuatu yang implisit di dalam kata wujud
sebagaimana yang dijelaskan oleh banyak filosof, maka kita akan melihat bahwa
setiap upaya yang mereduksi wujud hanya sebagai “yang ada disana” (being there) merupakan tindakan yang
bodoh. Wujud di dalam hakikatnya bukanlah hanya sekedar sesuatu “yang ada
disana,” tetapi juga sesuatu “yang memperoleh apa yang ada disana” (which finds what is there). Semakin kuat
sesuatu itu “disana,” maka akan semakin kuat pula “ia memperolehnya.” Derajat
wujud yang tertinggi diperoleh di dalam kehadiran, persepsi, dan kesadaran yang
tertinggi pula.
Di dalam penjelasan singkat
tentang arti persepsi, Mulla Sadra mengatakan, “Persepsi adalah wujud yang
dipersepsi bagi yang mempersepsi” (al-idrak
‘ibara ‘an wujud al-mudrak li al-mudrik). 11) Di dalam dualitas pengertian kata wujud, defenisi
ini juga bisa diartikan “persepsi adalah objek persepsi yang diperoleh yang
mempersepsi.” Di dalam beberapa penjelasan yang sama terhadap kata wujud ini,
Mulla Sadra sering mengganti kata wujud dengan kata “kehadiran” (hudhur) atau “penyaksian” (musyahadah), 12) dua kata yang merupakan istilah yang mempunyai
sejarah panjang dalam memberikan inspirasi bagi Mulla Sadra dalam memahami
sifat-sifat dasar sesuatu. 13)
“Kehadiran” adalah lawan kata
“ketidakhadiran” (ghaybah), dan
secara praktis kata ini sinonim dengan “penyaksian.” Mulla Sadra kadang-kadang
membagi alam semesta ke dalam dua “pahaman” dasar (idraki), yakni alam kehidupan dan pengetahuan yang merupakan alam
akal dan jiwa, serta alam kematian dan kebodohan yang merupakan alam
benda-benda mati. 14)
(Pembagian ini sama dengan Afdal yang membagi alam ke dalam alam “perolehan”
dan alam yang “ada”). Ketika Mulla Sadra menyebutkan pembagian ini, dia
kelihatannya mengutip istilah Alquran untuk kedua alam tersebut, yakni “tidak
hadir” (ghayb) dan “yang disaksikan”
(syahadah). Yang “tidak hadir” adalah
segala sesuatu yang pada dasarnya tidak bisa dipersepsi, sementara yang
“disaksikan” adalah segala sesuatu yang hadir di depan indra kita.
Ketika kita bertanya mungkinkah
bisa memahami dan menyaksikan alam yang “tidak hadir,” tentu para filosof akan
menjawab ya. Kita memang bisa memahami sesuatu walaupun indra tidak mampu
menangkapnya. Namun, untuk benar-benar memahami alam objek-objek yang tidak
hadir, terlebih dahulu kita harus memperkuat fakultas-fakultas persepsi dan
belajar bagaimana melihat kegelapan alam korporeal dan alam indra dengan
membawanya ke dalam wilayah yang melebihinya (yakni alam jiwa dan alam akal,
ed.). Alam yang tidak hadir harus mewujud bagi kita dan kita harus
memperolehnya. Dengan kata lain, alam tak hadir itu harus hadir di dalam diri
dan harus disaksikan oleh diri tersebut.
Dengan demikian, persepsi
merupakan suatu manifestasi wujud, atau bahkan wujud itu sendiri, yakni suatu
“kehadiran” – ada dan diperoleh disana.
Persepsi merupakan wujud objek yang dipersepsi di dalam yang
mempersepsi. Konsekuensinya adalah, bahwa di dalam pemahaman terhadap alam
internal dan eksternal, derajat suatu persepsi sama dengan derajat wujud.
Memahami sesuatu secara langsung berarti ketercakupan secara menyeluruh di
dalam wujud.
Wujud Mental
Ketika Mulla Sadra mengatakan
bahwa persepsi adalah “ada-nya” dan “diperolehnya” objek persepsi di dalam yang
mempersepsi, maka dia tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa objek tersebut
mewujud secara internal persis sama dengan wujud eksternalnya. Mulla Sadra
menjelaskan bahwa ketika pikiran memahami sesuatu, maka ia berubah dari
potensialitas menjadi aktualitas, dan aktualitas pikiran adalah kehadiran
bentuk-bentuk objek pahaman di dalam pikiran tersebut. Kehadiran ini disebut
“wujud mental” (wujud dzihni), suatu
istilah yang juga bisa diartikan sebagai “perolehan mental.” Namun, selama jiwa
masih tetap menjadi jiwa dan belum menjadi akal di dalam aktualnya, maka
manifestasi wujud dan persepsi jiwa tersebut masih lemah sehingga apapun yang
dipahami dan eksis di dalam jiwa juga pasti masih lemah. Mulla Sadra mengatakan
bahwa karena kelemahan ini, maka perbuatan-perbuatan dan implikasi-implikasi
khusus yang diperintahkan kepada jiwa dan kemudian mewujud di dalamnya, tetap
akan menjadi wujud yang memiliki kelemahan sepenuhnya. Atau, wujud
bentuk-bentuk akal dan imajinal yang mewujud dari jiwa tersebut hanya akan
menjadi bayang-bayang dan sesuatu yang aneh dan muncul tiba-tiba dari wujud
eksternal yang berasal dari Pencipta, walaupun kuiditasnya terjaga di dalam dua
wujud. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan yang diperintahkan pada kuiditas di
alam eksternal tidak akan diperintahkan pada wujudnya di dalam jiwa.....
Wujud sesuatu yang kepadanya
perbuatan-perbuatan tidak diperintahkan namun pada saat yang sama ia (tetap)
muncul dari jiwa di dalam modalitas perwujudan ini disebut wujud “mental” dan
“bayang-bayang.” Sementara itu, wujud yang diberikan perintah disebut wujud
“eksternal” dan “terpisah” (entified).
(1:266, 65.27)
Singkatnya, segala sesuatu yang
dipahami oleh persepsi indra mewujud dengan wujud yang sebenarnya di dalam
pikiran, tetapi wujud mentalnya merupakan suatu bayang-bayang dari wujud
eksternalnya. Namun, karena jiwa secara gradual mengaktualkan potensinya untuk
mengetahui alam yang lebih tinggi, maka objek-objek yang dipahaminyapun akan
mengalami proses peningkatan di dalam intensitasnya. Pada tingkatan persepsi
akal yang sebenarnya, akal yang mempersepsi akan mempunyai wujud dan kesadaran
yang sama dengan bentuk-bentuk yang dipersepsinya.
Potensi Jiwa
Persepsi terjadi di dalam jiwa (nafs), suatu kata yang arti literalnya
adalah “diri.” Pembicaraan tentang diri atau jiwa dimulai dari tingkatan
tumbuhan sampai tingkatan tertinggi yang bisa dicapai dalam penyempurnaan
manusia. Jiwa manusia secara sederhana dapat dijelaskan sebagai “keseluruhan
potensi” (8:221, 777.31). Dengan pemahaman ini, Mulla Sadra ingin mengatakan
bahwa jiwa rasional adalah “satu-satunya yang dapat memahami semua persepsi
yang disifatkan kepada potensi-potensi manusia” (Ibid). Dengan kata lain, jiwa
manusia adalah potensi murni yang dalam keadaan ini ia tidak mempunyai
aktualitas. Aktualitas jiwa ini justru mewujud melalui persepsi. Ketika jiwa
memahami sesuatu, maka sesuatu itu akan mewujud di dalam jiwa dengan wujud
tertentu, kemudian jiwa akan mengaktualkan di dalam dirinya wujud mental yang
sesuai dengan wujud yang dipahami tersebut.
Tujuan dari wujud manusia adalah
untuk membawa potensialitas jiwa ke dalam aktualitas. Pada permulaan
penciptaannya, diri manusia masih kosong dari pengetahuan tentang sesuatu.
Sebaliknya, sesuatu yang lain diciptakan bersama pengetahuan aktual dan hal ini
kemudian menetapkan identitas-identitas khususnya. Karena jiwa manusia
diciptakan tanpa mengetahui sesuatupun, maka jiwa tersebut mempunyai potensi
untuk mengetahui apapun. Hanya karakteristik inilah yang dapat merubah jiwa
menjadi akal melalui aktualitasasi potensi tersebut.[xvi])
Allah menciptakan ruh manusia
yang di dalamnya kosong dari perwujudan sesuatu serta kosong dari pengetahuan
terhadap segala sesuatu... Tidakkah Allah menciptakan ruh manusia untuk
mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya? Memang seperti itu. Pada awalnya
ruh manusia adalah kosong, namun ketika pertama kali diciptakan fitrah ruh
manusia, maka salah satu dari sesuatu itu mewujud, dan jiwa pun tidak lagi
kosong sama sekali.
Meskipun pada awalnya ruh manusia
hanyalah potensi yang kecil dan kosong dari pahaman-pahaman akal, namun keadaan
ini cukup bagi ruh untuk mengetahui dan menyatu (ittisal) dengan semua pahaman akal tersebut. Dengan keadaan itulah
ruh akan sampai kepada tujuan utama, yakni pengetahuan tentang Allah yang
sebenarnya (‘irfan), pengetahuan
tentang alam spiritual (malakut),
serta pengetahuan tentang tanda-tandaNya (ayah).....
Pengetahuan adalah yang pertama dan yang terakhir, asal sekaligus tujuan akhir.
(3:515-16, 326.2) 15)
Persepsi mengaktualkan suatu
pengetahuan potensial jiwa. Aktualitas mensyaratkan perbuatan. Mulla Sadra
mengatakan bahwa para filosof yang telah menjelaskan bahwa persepsi adalah
gambaran objek-objek pahaman di dalam jiwa, berarti mereka kehilangan makna
yang sebenarnya dari persepsi tersebut, karena sesungguhnya persepsi lebih
tepat disebut aktivitas dan aktualitas dibandingkan sebagai penerimaan (receptivity).
Hubungan antara bentuk yang
diketahui terhadap esensi yang mengetahui adalah hubungan antara “yang dibuat”
(maj’ul) terhadap “pembuat” (ja’il), bukan suatu hubungan “tinggal di
dalam” (hulul) atau “tergambar di
dalam” (intiba’). (8:251, 785.32
Dalam hubungannya dengan objek
pahaman imajinal dan indrawi, jiwa lebih mirip dengan pelaku inovatif (al-fa’il al-mubdi’) dibanding sebagai
tempat tinggal reseptif (al-mahall
al-qabil). (1:287, 70.35)
Di dalam penjelasannya tentang
penglihatan (vision), [xvii]) Mulla Sadra memberikan
suatu contoh khusus bagaimana jiwa dapat mencapai penglihatan itu melalui
persepsi. Setelah menolak teori-teori dari kelompok saintis, matematikawan, dan
bahkan Suhrawardi sendiri, Mulla Sadra kemudian mengatakan,
Penglihatan terjadi melalui pembuatan
suatu bentuk yang sama (dengan yang bentuk yang dilihat, ed.) dengan bantuan
kekuatan Allah, yakni bentuk yang datang dari alam jiwa, alam spiritual. Bentuk
tersebut terlepas dari materi eksternal dan hadir di dalam jiwa yang
memahaminya. Bentuk tersebut tetap hadir melalui jiwa sama dengan kehadiran
perbuatan melalui pelakunya, bukan sebagai kehadiran sesuatu yang diterima
melalui wadahnya. (8:179-80, 768.8)
Setelah mengatakan hal ini, Mulla
Sadra melanjutkan penjelasannya dengan menunjukkan bahwa penglihatan hanyalah
salah satu contoh sifat-sifat umum suatu persepsi, yakni penyatuan antara yang
dipahami dan yang memahami. Pembuktian ini sama dengan yang sebelumnya
ditunjukkan oleh Mulla Sadra pada bagian “Penyatuan antara Akal dan Objek
Pahaman Akal” (ittihad al-‘aql wa
al-ma’qul) yang dianggapnya sebagai salah satu inti bangunan filsafatnya.
Mulla Sadra membuktikannya secara khusus karena Ibn Sina dan para pengikutnya
telah menolak konsep tersebut.
Apa yang telah kami tunjukkan di
dalam penyatuan antara akal dan objek pahaman akal, juga berlaku di dalam semua
persepsi indra, imajinasi, maupun intuisi indra. Kami harus memperhatikan
masalah ini di dalam membicarakan masalah akal dan objek pahaman akal. Kami
katakan bahwa persepsi indra di dalam indra yang sesungguhnya (unqualified sense) tidak sama dengan
yang dipahami oleh sebagian besar pemikir yang menganggap bahwa sensasi
memisahkan bentuk objek indrawi dari materi dan memahaminya melalui
aksiden-aksiden; dan dengan cara yang sama, imajinasi memisahkan bentuk
tersebut dengan pemisahan yang lebih besar 16)
.......Tetapi, persepsi di dalam
indra yang sesungguhnya dapat dicapai hanya dari pancaran Pemberi Karunia 17) terhadap bentuk
perseptual yang bercahaya, yang melaluinya persepsi dan kesadaran juga dapat
dicapai. Bentuk inilah yang memiliki kekuatan untuk melihat di dalam perbuatan
(sensate in act) sekaligus objek
indrawi di dalam perbuatan (sensible in
act). Dan untuk wujud bentuk di dalam materi, bentuk tersebut bukanlah
persepsi indra, juga bukan bukan objek persepsi indra. Namun, ia adalah sesuatu
yang menyiapkan jalan bagi pancaran bentuk tersebut. (8:81, 768.10)
Dengan demikian objek persepsi
adalah suatu bentuk yang dipancarkan ke dalam jiwa oleh Allah. Mempelajari
penjelasan Mulla Sadra tentang implikasi teologis dari pandangan ini akan
membutuhkan studi yang lain, oleh karena itu disini mungkin sudah cukup jika
dipahami bahwa pancaran Allah terhadap bentuk akan mengaktualkan potensi jiwa
untuk mengetahui. [xviii]) Dalam prosesnya dari
potensi menjadi aktual, jiwa memperoleh suatu wujud mental yang ‘sama’ dengan
wujud eksternal objek yang dipersepsinya. Wujud dari sesuatu yang diketahui
adalah wujud dalam bentuk akal atau
imajinal, dan kehadiran bentuk tersebut terhadap jiwa adalah wujud mentalnya di
dalam jiwa, yakni wujud yang identik dengan wujud jiwa itu sendiri karena tidak
ada lagi kejamakan wujud di dalam jiwa. Kesadaran jiwa terhadap bentuk tersebut
adalah wujud bentuk tersebut terhadap jiwa. Di dalam wujud mental, persepsi dan
wujud adalah dua hal yang sama. Konsekuensinya, sebagaimana yang sering
dikatakan oleh Mulla Sadra, objek yang dipersepsi selalu sama dengan yang
mempersepsi. Melalui sentuhan, rasa, dan penglihatan, jiwa memahami objek-objek
yang sama dengan dirinya sendiri. Hal itu karena objek-objek tersebut adalah
bentuk-bentuk dari sesuatu yang disentuh, dirasa, dan dilihat yang kemudian
teraktualkan di dalam jiwa. 18)
Ketika Mulla Sadra mengatakan
bahwa jiwa adalah “semua potensi,” yang dimaksudkannya adalah bahwa diri manusia
adalah potensi yang tak terbatas untuk mengetahui. Kesempurnaan jiwa mewujud di
dalam aktualisasi potensinya, dan potensi ini tidak bisa dibatasi. Jiwa,
sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles pada bagian awal Metafisika-nya,
merindukan kemahatahuan karena potensinya yang mampu memahami apapun. Akan
tetapi, segala sesuatu hanya dapat diperoleh di dalam akal murni, tempat dimana
sesuatu itu mewujud sebagai bentuk-bentuk akal. Oleh karena itu, tingkatan
persepsi yang tertinggi adalah ketika jiwa menjadi akal. Dengan kata lain, jiwa
mempersepsi dalam kapasitasnya yang maksimal sehingga ia mewujud di dalam
maksimalitas perolehan aktual. Jika jiwa sudah mengalami kesempurnaan persepsi
dan wujud, maka segala sesuatu menjadi hadir padanya secara aktual. Dalam hal
ini segala sesuatu menjadi hadir di dalam akal dengan kejelasan wujud akalnya,
tidak terganggu lagi oleh wujud indrawi dan imajinalnya.
Ketika jiwa sudah menjadi akal,
pada saat itu ia sudah menjadi segalanya. Pada saat itu juga, jiwa sudah
menyatu dengan segala sesuatu yang telah dihadirkan di dalam esensinya – yang
saya maksudkan adalah bentuk-bentuk sesuatu itu, bukan entitasnya yang
eksternal. Hal ini tidak lantas berarti bahwa jiwa tersusun dari
entitas-entitas eksternal, juga tidak tersusun dari bentuk-bentuk tersebut.
Maksudnya adalah, jika jiwa semakin sempurna, ia juga akan semakin sempurna
sebagai ‘keseluruhan dari segala sesuatu’ dan akan semakin kuat di dalam
kesederhanaannya (esensinya akan semakin sederhana yang merupakan sifat wujud
akal, ed.). Hal ini karena sesuatu yang paling sederhana adalah segala sesuatu,
sebagaimana yang telah ditunjukkan sebelumnya. [xix]) (8:253, 786.16)
Harus diingat bahwa bagi Mulla
Sadra, wujud adalah yang utama sedangkan kuiditas adalah yang kedua. Kuiditas
adalah apa yang disebut oleh Ibn ‘Arabi sebagai “entitas-entitas tetap” (fixed entities) dimana sifat “tetap” itu
adalah karena memang entitas-entitasnya tidak pernah berubah. Yang berubah
hanyalah wujud formal, yakni melalui proses penguatan maupun pelemahan.
Tingkatan-tingkatan persepsi dibedakan berdasarkan kekuatan dan kelemahan wujud
formal ini. Di dalam istilah Mulla Sadra, (wujud yang sempurna adalah) hanya
ketika ia mencapai tingkatan “akal sederhana, yang benar-benar terlepas dari
alam pisik dan kuantitas, dan ia telah menjadi semua objek akal dan segala
sesuatu, sedemikian sehingga ia lebih kuat dan lebih sempurna dari segala
sesuatu dalam dirinya sendiri.” (3:373, 293.32)
Pada setiap tingkatan persepsi,
jiwa melepaskan objek-objek persepsi dari materi dan kondisi tingkatan
ontologis lainnya. Bahkan, persepsi indrapun harus melepaskan objek persepsinya
(dari materi, ed.) karena materi eksternal tidak bisa masuk ke dalam jiwa.
Tetapi, ketika jiwa melepaskan objek-objek persepsinya, maka pada saat yang sama
jiwapun akan terlepas dari kondisi-kondisi alam yang lebih rendah. Perpindahan
dari persepsi indra menuju imajinasi dan kemudian ke inteleksi adalah suatu
perpindahan dari wujud dan persepsi yang lemah ke wujud dan perolehan yang
lebih kuat. Kapanpun jiwa mengaktualkan potensinya melalui pengetahuan, maka ia
akan mencapai kekuatan wujud tertentu, dan ketika ia menjadi akal di dalam
perbuatan, berarti ia telah mencapai wujud yang abadi dan sempurna.
Mulla Sadra sangat kritis
terhadap penjelasan para filosof pendahulunya dalam membicarakan makna
“keterlepasan” (disengagement, tajarrud) ini. Penolakannya terhadap
pemahaman mereka telah membantu dalam menjelaskan mengapa “abstraksi” bukanlah
kata yang tepat untuk menerjemahkan kata tajarrud
tersebut. 20) Mulla Sadra menulis,
Makna dari keterlepasan di dalam
inteleksi dan persepi yang lain bukanlah seperti yang dikenal sebelumnya –
yakni bahwa ia adalah penghilangan hal-hal asing tertentu (zawa’id). Ia juga bukanlah keadaan dimana jiwa dalam keadaan diam
sementara objek-objek persepsi dikirimkan dari substrat [xx]) materialnya ke sensasi,
dari sensasi ke imajinasi, dan dari imajinasi ke akal. Tetapi, yang disebut
keterlepasan adalah keadaan dimana yang mempersepsi maupun yang dipersepsi
keduanya terlepas pada saat yang sama. Keduanya dilepaskan dari satu wujud ke
wujud yang lain. Keduanya dikirimkan dari satu keadaan menuju keadaan yang
lain, dan dari satu alam ke alam yang lain, sampai akhirnya jiwa di dalam
aktualnya telah (sekaligus) menjadi akal, yang melakukan inteleksi, dan objek
pahaman akal, yang sebelumnya jiwa hanya berada dalam potensinya (sebelum ia
teraktualkan). (3:366, 292.1)
Berbeda dengan apa yang diajarkan
oleh filosof sebelumnya, keterlepasan bukan berarti penolakan terhadap
(eksistensi) pisik karena realitas esensial pisik adalah wujud formal, bukan
materi. Jika jiwa semakin kuat, maka semakin kuat pula bentuk intelektif pisik
dan wujudnya. Mulla Sadra mengatakan,
Di antara beberapa hal yang harus
diketahui adalah bahwa (di dunia ini) manusia adalah gabungan antara jiwa dan
pisik. Kedua bagian ini, walaupun berbeda dalam derajatnya, namun keduanya
adalah dua maujud yang meng-ada melalui satu wujud. Perumpamaannya adalah bahwa
kedua bagian ini seperti sesuatu yang mempunyai dua sisi. Salah satu dari sisi
itu mengalami perubahan dan kematian, ia mirip dengan cabang; sementara sisi
yang lain adalah sisi yang tetap dan hidup, ia menyerupai akar. Semakin
sempurna jiwa di dalam wujudnya, maka pisik juga akan semakin halus dan jernih.
Pisik tersebut akan semakin kuat dalam hubungannya dengan jiwa, dan penyatuan
antara keduanya akan semakin kuat pula. Akhirnya, ketika wujud akal sudah
menjadi aktual, keduanya sudah tidak memiliki perbedaan sama sekali.
Masalah ini berbeda dengan
anggapan umum – bahwa ketika jiwa dari wujud duniawi ini berubah menjadi wujud
ukhrawi, maka jiwa akan keluar dari pisik dan seolah-olah pisik itu menjadi
telanjang tanpa pakaian. Mereka menganggap seperti itu karena mengira bahwa
tubuh pisik – yang diatur secara bebas oleh jiwa melalui suatu pengaturan
esensial dan suatu aktifitas bebas primer – hanyalah daging mati yang akan
dibuang setelah kematian, namun sesungguhnya tidak demikian adanya. Yang benar
adalah, bahwa daging mati ini justru berada di luar dari substrat aktivitas bebas dan pengaturan jiwa tadi.
Tubuh pisik ini mirip dengan suatu beban dan ampas yang merupakan hasil
aktifitas alam, seperti kotoran dan sejenisnya. Atau, tubuh pisik mirip dengan
rambut, bulu binatang, tanduk, atau kuku yang muncul secara eksternal melalui
proses alam untuk fungsi-fungsi eksternal pula. Ia mirip dengan rumah. Manusia
membangun suatu rumah bukan karena wujudnya, tetapi hanya untuk menahan panas
dan dingin, dan untuk hal-hal lain yang tanpanya tidak mungkin hidup di dunia
ini. Tetapi, kehidupan manusia sendiri bukanlah hanya di rumah tersebut. 21) (9:98, 846.8)
Kesimpulan
Kita telah mendiskusikan sepuluh
teori-teori dasar yang harus diperhatikan dalam menjelaskan keseluruhan
penggambaran Mulla Sadra tentang bagaimana persepsi berpindah dari tingkatan
yang terendah menuju tingkatan yang tertinggi melalui proses keterlepasan.
Kesepuluh teori dasar ini dapat kita ringkaskan seperti berikut:
1. Persepsi adalah (proses) untuk
mencapai pengetahuan tentang sesuatu dengan melihat kuiditasnya, yakni bentuk
atau realitas akalnya.
2. Persepsi mempunyai empat
tingkatan yang kemudian dapat disederhanakan menjadi tiga tingkatan saja:
indra, imajinasi dan akal.
3. Tingkatan persepsi ditentukan
oleh kekuatan keterlepasan persepsi dari materi.
4. Tiga tingkatan dasar persepsi
tepat bersesuaian dengan tiga alam dasar yang menyusun alam semesta.
5. Realitas wujud tidak terpisahkan
dengan realitas pengetahuan dan persepsi, dengan demikian tingkatan wujud
identik dengan tingkatan persepsi.
6. Wujud mental objek persepsi merupakan
bayangan wujud eksternalnya, kecuali di dalam persepsi akal dimana akal dan
objek pahaman akal menyatu di dalam satu wujud yang abadi dan permanen.
7. Jiwa manusia mewujud dalam
keadaan kosong dari pengetahuan dan aktualitas sehingga ia mempunyai potensi
untuk mengetahui segala sesuatu. Dengan demikian persepsi adalah aktualitas dan
aktifitas jiwa.
8. Jika jiwa semakin kuat di dalam
suatu persepsi, maka semakin kuat pula wujudnya. Semakin kuat wujudnya semakin
kuat pula ia menerima sifat realitas wujud sederhana yang melaluinya jiwa
mengetahui segala sesuatu.
9. Keterlepasan jiwa dari sesuatu
(yang material, ed.) melalui persepsi terjadi bersamaan dengan keterlepasannya
melalui penguatan wujud dan kesadaran.
10. Keterlepasan jiwa bukanlah
penolakan terhadap (wujud) pisik, tetapi keterlepasan adalah perubahan pisik
dan semua objek-objek pisik.
Sebagai kesimpulan, kita dapat
melihat bahwa bagi Mulla Sadra, tujuan akhir suatu persepsi adalah agar manusia
dapat melihat segala sesuatu di dalam hakikatnya. Hal ini dapat tercapai hanya
jika jiwa mengaktualkan potensi tak terbatasnya untuk mengetahui. Potensi ini
adalah kemampuan untuk memahami segala sesuatu yang mewujud di dalam
tingkatan-tingkatan wujud formal. Potensi ini dapat berubah menjadi aktualitas
melalui penguraian, pelepasan, dan pemisahan (mufaraqa) dari semua materialitas dan aspek pisik, serta kembalinya
ke realitas akal jiwa yang pada hakikatnya adalah akal di dalam perbuatan, atau
akal yang memahami segala sesuatu sebagaimana wujud aktualnya. Hal ini tidak berarti
bahwa jiwa tidak lagi mempunyai hubungan dengan sesuatu di dalam eksternal.
Tetapi, hal ini berarti bahwa jiwa akan dapat memahami segala sesuatu secara
jelas pada tingkatan wujud apapun sesuatu itu. Jiwa tidak akan terjerumus lagi
ke dalam pandangan yang salah (nearsightedness)
dalam mempersepsi bentuk-bentuk karena keragaman tempat bentuk-bentuk tersebut
mewujud bagi yang mempersepsi, tempat yang diselimuti oleh kegelapan persepsi
indra dan imajinasi. Jiwa akan mencapai tujuan akhirnya setelah ia memahami
dirinya dan memahami segala sesuatu dalam hakikatnya, juga setelah ia menemukan
dirinya menyatu dengan segala sesuatu.
Catatan
1. Saya menuliskan referensi halaman
untuk al-Asfar baik untuk edisi sembilan volume yang terlihat di Qum pada tahun
1378/1958-59) seperti yang ada di dalam CD-Rom “Nur al-Hikmah 2” (Qum: Computer Research Center of Islamic
Science); maupun untuk edisi litograp (Tehran: 1282/1865-66). Untuk edisi
litograp ini, saya juga menuliskan nomor baris. Karena edisi litograp ini mempunyai
halaman yang tidak lengkap, maka saya mengikuti penomoran halaman yang
dilakukan oleh M. Ibrâhîm Ayatî di dalam Fihrist-i
abwâb wa fusûl-I kitâb-i Asfâr (Tehran: Dânishgâh-i Tihrân, 1340/1961).
Edisi litograp ini juga telah diterbitkan di dalam S. H. Nasr, Yâd-nâma-yi
Mullâ Sadrâ (Tehran: Dânishgâh-i Tihrân, 1340/1961), hal. 63-106.
2. Disini Mulla Sadrâ tidak
menggunakan istilah kuiditas, tetapi dia menyinggung masalah ini dengan
menggunakan istilah istitsbât, atau
“pencapaian kestabilan.” Kata ini berasal dari akar kata yang sama dengan kata tsâbita, yang artinya “stabil”
sebagaimana di dalam istilah ‘ayn tsâbita,
yakni “entitas stabil” yang diperkenalkan oleh Ibn ‘Arabi dan sering dijelaskan
oleh Mulla Sadra. Di dalam tulisan-tulisan Mulla Sadra dan Ibn ‘Arabi, kata ini
digunakan sebagai sinonim kata kuiditas.
3. al-Asfâr 3:360-61, 290.27
4. Masalah mendasar “abstraksi”
adalah bahwa kata ini benar-benar kehilangan keterhubungan dengan makna
penguatan wujud dan realitas di dalam derajat peningkatan keterlepasan (dari
materi). Bandingkan dengan pembahasan saya tentang kata ini di dalam “The Heart of Islamic Philosophy” (Oxford
University Press).
5. “Untuk persepsi-persepsi indra,
ia terpengaruh oleh ketidaktahuan. Persepsi ini bercampur dengan kegagalan
dalam memperoleh (pengetahuan yang sebenarnya, ed.) karena ia hanya mencapai
sisi luar sesuatu serta bayangan sifat-sifat kuiditas namun ia tidak mencapai
realitas serta sisinya yang terdalam.” (3:367, 292.14)
6. al-Asfar,
3:361-62, 290-91.
7. al-Asfar,
3:362, 291.
8. Untuk pembagian alam menjadi tiga
tingkatan dalam hubungannya dengan tiga “konfigurasi persepsi” (nasya’at idrakiyyah) jiwa, lihat Asfar, 9:21, 826.18. Di dalam
menjelaskan keempat tingkatan wujud ini, Mulla Sadra melanjutkan penjelasannya
bahwa keempatnya adalah empat alam, dan setiap tingkatan wujud tersebut
merupakan pembagian pengetahuan karena setiap tingkatan bentuk-bentuk yang
diketahui berhubungan dengan tingkatan wujud yang berbeda. Kemudian Mulla Sadra
menjelaskan pembagian “objek-objek persepsi yang bersifat mungkin” (possible perceptibles) yang berhubungan
dengan setiap tingkatan wujud serta memperjelas maksudnya dengan membagi tiga
tingkatan pertama ke dalam wujud yang sempurna, cukup, dan kurang: “Bagian pertama dari objek persepsi adalah
wujud dan pengetahuan yang ‘sempurna.’ Wujud yang sempurna ini adalah akal dan
objek pahaman akal. Karena kekuatan wujud, cahaya dan kejernihannya, wujud ini
terlepas dari pisik, bayangan-bayangan yang tidak benar, dan penjumlahan.
Walaupun ia banyak dan beragam, namun ia mewujud dalam satu wujud saja, wujud
dari segalanya....Yang kedua adalah alam jiwa-jiwa malakut (the world of celestial souls), bayangan
yang terlepas (dari materi, ed.) dan gambaran-gambaran kuantitatif. Wujud ini
cukup di dalam esensi dan bentuk-bentuk akalnya karena ia mempunyai hubungan
dengan alam bentuk-bentuk ilahiyyah (the
world of divine forms) yang sempurna di dalam wujud sehingga kekurangan
wujud yang kedua ini tertutupi dan kemudian bergabung dengan alam bentuk-bentuk
ilahiyyah tadi....Yang ketiga adalah alam jiwa indrawi, alam spiritual yang
lebih rendah (al-malakut al-asfal),
serta semua bentuk-bentuk indrawi di dalam aktualitas dan yang dipahami melalui
kesadaran dan organ-organ, yang juga menjadi bagian dari alam spiritual yang
lebih rendah (the lower spiritual realm).
Wujud ini kurang di dalam wujud selama ia masih berhubungan dengan dunia ini.
Namun, wujud ini bisa terangkat ke alam yang lebih tinggi dan terlepas dari
alam dunia ini – sampai di alam yang terlepas dari bayangan-bayangan yang tidak
benar (the world of disengaged apparitions) – dengan megikuti perjalanan jiwa
manusia....(Dan) yang keempat adalah alam materi dan bentuk-bentuk pisik, yang
merupakan wujud antara (transient),
yang akan menghilang, yang mengalami transformasi, serta yang mengalami
keberlanjutan (generation) dan
degradasi (corruption).” (3:502,
322.12)
9. Di dalam salah satu karyanya,
Mulla Sadra menjelaskan bahwa kegelapan (kebodohan, ed.) yang harus dihindari
oleh manusia untuk dapat mencapai pemahaman akal adalah “aksiden-aksiden asing”
(a’rad gharibah). Mulla Sadra
menulis, “aksiden-aksiden asing yang harus dihindari oleh manusia untuk dapat
mencapai pemahaman akal bukanlah kuiditas-kuiditas dan makna sesuatu, karena
pada hakikatnya tidak ada kontradiksi antara pemahaman akal terhadap sesuatu
dengan pemahaman akal terhadap atribut-atribut sesuatu itu. Dengan cara yang
sama, “aksiden-aksiden asing” yang harus dilepaskan oleh manusia dalam
mengimajinasikan sesuatu bukanlah bentuk-bentuk imajinatifnya, karena juga tidak
ada kontradiksi antara pengimajinasian sesuatu dengan sifat-sifat imajinatif (hay’a) sesuatu itu. Justru, yang
menghalangi beberapa persepsi adalah modalitas-modalitas sesuatu yang tertentu.
Penghalang tersebut adalah kegelapan (darkness)
serta non-wujud (non-existence) yang
menutupi bagian-bagian tak terlihat di dalam proses persepsi. Sebagai contoh
adalah “yang ada” (kawn) di dalam
materi, (hal ini terjadi) karena kondisi materi memerlukan hijab terhadap
bentuk yang justru harus disingkap di dalam suatu persepsi. Demikian juga “yang
ada” di dalam sensasi dan imajinasi, karena ia merupakan wujud kuantitatif maka
ia bisa juga menghalangi persepsi akal walaupun kuantitas (miqdar) itu sudah terlepas dari materi. Tetapi, wujud akal bukanlah
wujud kuantitatif, karena ia telah terlepas dari dari dua alam wujud dan berada
di atas dua alam tersebut.” (3:362, 291.9)
10. Karya-karya Baba Afdal yang
hampir semuanya ditulis dalam bahasa Persia, tidak dikenal oleh Mulla Sadra.
Namun, kita harus ingat bahwa Mulla Sadra menerjemahkan salah satu karya Baba
Afdal ini ke dalam bahasa Arab. Karya tersebut adalah Jawidan-nama yang
diterjehamahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Iksir al-‘Arifin. Lihat pengantar saya dalam terjemahan saya
terhadap kitab Iksir al-‘Arifin ini.
11. 8:40, 732.31. Bandingkan dengan
8:165, 764.3; 8:251, 785.31
12. Sebagai contoh: “Persepsi adalah
kehadiran objek persepsi di dalam yang mempersepsi” (4:137, 377.6). “Persepsi
terdiri dari wujud sesuatu serta kehadirannya untuk wujud sesuatu yang lain.”
(6:146, 635.11) “Persepsi terdiri dari wujud suatu bentuk yang hadir pada suatu
maujud yang wujudnya adalah miliknya sendiri.” (8:163, 764.3) “Persepsi
hanyalah pandangan (iltifat) dan
penyaksian jiwa terhadap objek-objek persepsi.” (6:162, 573.22)
13. Pembahasan tentang “kehadiran” di
dalam konteks persepsi secara langsung berhubungan dengan pembagian dua jenis
pengetahuan yang sudah sering dibahas di dalam filsafat Islam sebelumnya –
yakni ilmu melalui “kehadiran” (hudhuri)
dan ilmu melalui “perolehan” (hushuli).
Makna “kehadiran” yang sinonim dengan “penyaksian” agak diabaikan di dalam
literatur kedua dan hal ini mengaburkan hubungan dengan keseluruhan tema
tentang “penyaksian” di dalam tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi dan
pengikut-pengikutnya. Bagi mereka, penyaksian semakna dengan “penyingkapan” (kasyf) dan “penglihatan langsung” (‘iyan). Selanjutnya, kata penyaksian ini
juga semakna dengan “wujud” ketika istilah ini digunakan untuk menunjukkan
kemungkinan tertinggi yang bisa dicapai oleh persepsi manusia sebagaimana yang
ditemukan di dalam istilah yang umum tentang ahl al-kasyf wa al-wujud, “orang-orang yang mengalami penyingkapan
dan mencapai perolehan.” Tentang penggunaan istilah ini di dalam
tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi, lihat dalam buku saya “Sufi Path of Knowledge” (Albany: SUNY Press, 1989).
14. Selanjutnya Mulla Sadra
mengatakan bahwa dua kategori ini – yang tak tampak dan yang disaksikan –
berhubungan dengan keterbatasan pandangan duniawi yang di dalamnya ketinggian
kemampuan akal belum diaktualkan. Menurut Mulla Sadra, alam akhirat mempunyai
wujud yang lebih kuat dibandingkan dunia ini, dan setiap wujud yang lebih kuat
akan lebih kuat pula di dalam kehadiran, penyaksian, dan manifestasi. “Setiap
tingkatan Taman yang lebih kuat di dalam keterpisahannya dari alam ini serta
lebih kuat di dalam ketinggian dan keterlepasannya dari materi, pasti akan
lebih kuat di dalam manifestasi dan penerimaannya (terhadap wujud yang
sederhana).” (6:152, 571.20)
15. Orang mungkin menolak bahwa jiwa
manusia bukan “potensialitas murni” karena jiwa tersebut lahir bersama insting
dan pengetahuan yang dibawa sejak lahir (innate
knowledge). Saya berpikir Mulla Sadra akan menjawabnya dengan mengingatkan
kita bahwa apa yang kita sebut “insting” tidak berhubungan dengan jiwa manusia,
tetapi berkaitan dengan jiwa-jiwa tumbuhan dan binatang. Adalah benar bahwa
tidak mungkin jiwa manusia mewujud tanpa adanya jiwa binatang dan jiwa
tumbuhan, tetapi pembahasan tentang potensi tak terbatas hanya berhubungan
dengan jiwa manusia saja, bukan dengan dimensi-dimensi lain dari wujud manusia
tersebut. “Kemanusiaan” jiwa manusia merupakan maksud bahasan yang paling tepat
dimana manusia tidak bisa didefenisikan dan dilukiskan. Sehingga dengan
demikian, jiwa manusia mempunyai kemampuan untuk menjadi (wujud) apapun.
16. Bandingkan dengan bagian berikut
ini: “Ketika jiwa mempersepsi objek pahaman akal yang universal, maka ia
menyaksikan semua objek tersebut sebagai akal (intellective), esensi yang terlepas (dari materi, ed.). Tetapi hal
ini bukan karena jiwa-lah yang melepaskannya atau karena keterlepasan (intiza’) bentuk pahaman akalnya dari
bentuk indrawi – sebagaimana yang banyak dipahami oleh sebagian besar urafa’.
Tetapi, hal itu terjadi melalui suatu perpindahan (transferal) yang dimiliki oleh jiwa – dari indra, imajinal, ke
wujud akal; melalui suatu perpindahan (migration)
dari dunia ini ke alam akhirat serta alam yang lebih tinggi; serta melalui
suatu perjalanan (journey) dari alam
pisik ke alam imajinasi dan alam akal.” (1:289-90, 71.18)
17. “Pemberi Karunia” (Wahib) adalah salah satu nama Allah.
Mulla Sadra lebih sering menggunakan frase “Pemberi Karunia Bentuk-bentuk” (al-Wahib al-Suwar), dan hal ini
menjelaskan bahwa ini yang dimaksudkan oleh Mulla Sadra disini. Frase ini
merupakan salah satu penamaan filosofis terhadap Allah, dan memang frase ini
adalah salah satu nama Allah di dalam Alquran, al-Musawwir, “pemberi bentuk.” [xxi])
18. (Asfar 1:387, 96.7; 8:160,
763.10; 8:253, 786.13; 8:301, 798.27)
19. Alasan bahwa jiwa adalah (wujud)
segala sesuatu secara potensial adalah bahwa jiwa tersebut adalah suatu
gambaran (image) wujud per se. Inilah yang di dalam istilah
filosofis menjadi makna dari salah satu hadits, “Allah menciptakan Adam
menyerupai bentukNya (surah).” Mulla
Sadra menggunakan bahasa-bahasa teologis yang standar di dalam penjelasan
tentang sifat-sifat jiwa: “Al-Bari’ adalah pencipta semua wujud, baik yang
terbaharui (innovated) maupun yang
dari tiada menjadi ada (engendered)
(yakni wujud spiritual dan wujud korporeal). Allah menciptakan jiwa manusia
sebagai gambaran (mitsal) dari
esensiNya, sifat-sifatNya, dan perbuatanNya – karena Allah tidak bisa
diperbandingkan dengan apapun (mitsl),
tetapi tidak dengan suatu gambaran. Kemudian Allah menciptakan jiwa sebagai
gambaranNya di dalam esensi, sifat dan perbuatan sehingga pengetahuan tentang
(esensi, sifat dan perbutan) jiwa tersebut merupakan tangga untuk
mengetahuiNya. Allah membuat esensi jiwa terlepas dari wujud-wujud yang berasal
dari tiada kemudian ada, pembatasan ruang, dan arah (direction). Allah menjadikan jiwa sebagai pemilik kekuatan,
pengetahuan, keinginan, hidup, pendengaran dan penglihatan. Allah menjadikan
jiwa sebagai pemilik kerajaan yang sama dengan kerajaan yang mengadakannya
(yakni Allah, ed.). “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan
memilihnya” (QS.28:68) sesuai dengan apa yang diinginkanNya. Namun, meskipun
jiwa berasal dari alam spiritual, alam kekuatan (the world of power), dan sumber dari kemuliaan dan pengaruh
(terhadap yang lain), tetapi jiwa lemah di dalam wujud dan kekuatan setelah
jatuh ke dalam tingkatan-tingkatan kekurangan, juga karena ia mempunyai
perantara dengan Yang Mengadakannya.” (Asfar 65.22, 1:265-66)
20. Di dalam mengkritik filosof awal
tentang tema “keterlepasan” (tajarrud),
Mulla Sadra kelihatan menghindari kritik yang keras terhadap konsep Ibn ‘Arabi.
Sebagai contoh, lihat William Chittick, Self-Disclosure
of God (Albany: SUNY Press, 1998), hal. 346-47. Bandingkan juga dengan
kritik sikap filosofis yang dikutip dari murid Ibn ‘Arabi, Sadr al-Din
al-Qunawi di dalam Sachiko Murata, The
Tao Of Islam, (Albany: SUNY Press, 1992), hal. 222.
21. Bandingkan dengan bagian ini:
“Secara singkat, keadaan jiwa pada tingkatan keterlepasannya sama dengan
keadaan objek-objek persepsi eksternal ketika menjadi objek persepsi indra,
kemudian objek imajinasi, dan terakhir objek persepsi akal. Telah dikatakan
bahwa setiap persepsi mempunyai bagian-bagian proses keterlepasan dan bahwa
tingkatan-tingkatan persepsi dibedakan berdasarkan tingkatan keterlepasannya
(dari materi). Pengertian dari penjelasan ini adalah seperti yang telah kami
katakan: keterlepasan objek-objek persepsi bukanlah dengan membuang beberapa
atribut dan mempertahankan beberapa atribut lainnya. Tetapi, keterlepasan ini
adalah perubahan-perubahan wujud dari yang lebih rendah, yang mempunyai kekurangan
yang lebih besar, menuju wujud yang lebih tinggi, yang lebih kuat. Dengan cara
yang sama, keterlepasan dan perpindahan manusia dari alam dunia ini menuju alam
yang lain pada hakikatnya adalah perubahan dari keadaan pertama ke keadaan yang
kedua. Ketika jiwa telah mencapai kesempurnaan dan menjadi akal di dalam
aktualitas, hal itu bukan berarti bahwa beberapa potensinya – misalnya persepsi
indra – akan menghilang sementara potensi lainnya – yakni persepsi akal – masih
akan tinggal. Sebaliknya, ketika jiwa mencapai kesempurnaan dan esensinya
mengalami peningkatan, potensi-potensinya yang lain juga akan mencapai
kesempurnaan dan peningkatan yang sama.” (9:99-100, 846.18).

[i]) Secara sederhana, teleologi adalah suatu ajaran
filosofis-religius yang mencari tujuan-tujuan, atau untuk mengenal sebab-sebab
akhir, bahwa segala sesuatu itu mempunyai sebab dan sekaligus tujuan akhirnya.
Secara etimologi, teleologi berasal dari bahasa Yunani: telos yang berarti tujuan atau akhir, dan logos yang berarti doktrin atau wacana.
[ii]) Tasykik wujud
adalah teori Mulla Sadra yang mengatakan bahwa wujud sesuatu itu bersifat tetap
namun pada saat yang sama mengalami perubahan, itulah karenanya teori ini
disebut ambiguitas. Jika sebuah apel berubah dari hijau ke merah, maka apel
tersebut tidak berubah dari sisi wujud, yakni bahwa apel tersebut adalah tetap
sebagai wujud. Namun, ketika apel tersebut berubah dari hijau ke merah, jelas
bahwa wujud apel tersebut juga berubah dari sisi penampakan wujudnya. Apel yang
hijau dan apel yang merah adalah sama-sama wujud, namun keduanya berbeda dalam
penampakan wujudnya. Jadi, semua wujud dari sisi wujudnya adalah sama, namun
wujud-wujud tersebut mempunyai keunikan masing-masing.
Teori ini lahir di dalam filsafat
wujud Mulla Sadra sebagai bagian yang tak terpisahkan dari teorinya yang lain,
yakni wahdatul wujud dan ashalatul wujud untuk menyelesaikan
perbedaan pandangan dalam menjelaskan ketakberubahan esensi antara mazhab
Peripatetik dan mazhab Iluminasi yang memunculkan kemenduaan esensi. Malah,
Mulla Sadra mengatakan bahwa yang mempunyai kemenduaan adalah wujud, bukan
esensi. Teori inilah yang kemudian mendasari teori gerakan substansial yang
sangat terkenal di dalam filsafat Mulla Sadra.
[iv]) “Kuiditas” mempunyai pengertian
yang sama dengan “esensi,” yakni “keapaan” sesuatu. Aristoteles menjelaskannya
sebagai “to ti ein einai,” maksudnya
“apa yang seharusnya,” ungkapan yang biasanya diikuti oleh pernyataan lainnya,
misalnya “apa yang seharusnya menjadi kuda” dan lain-lain. Dalam hal ini, kuiditas atau esensi kuda
adalah “sesuatu yang menjadikan kuda itu kuda.” Dalam bahasa Arab “kuiditas”
atau “esensi” disebut “mahiyah” yang
merupakan lawan kata dari “anniyah”
atau “eksistensi” atau “wujud.” Wujud Wajib adalah wujud yang esensinya sama
dengan eksistensinya, dan Wujud wajib ini hanya bisa dinisbatkan kepada Wujud
Allah. Sedangkan untuk wujud mungkin, esensi atau kuiditasnya tidak
mengharuskan adanya eksistensi atau wujudnya. Bagi Mulla Sadra, wujud atau
eksistensi lebih utama, atau lebih primordial, atau lebih prinsip, dibandingkan
dengan esensi atau kuiditas. Hal itu disebabkan karena menurut Mulla Sadra,
esensi atau kuiditas hanyalah wujud mental dari wujud tersebut. Inilah yang
disebut konsep al-isalat al-wujud di
dalam filsafat Mulla Sadra.
Pada bagian selanjutnya, kata
kuiditas akan sering dipertukarkan dengan kata esensi.
[v]) Di dalam buku ini, kata intelligent diartikan sebagai akal, intelligible sebagai objek pahaman akal,
dan intelligence adalah pemahaman
akal terhadap objek pahaman akal. Ketiga kata-kata ini sangat sering dipakai di
dalam menjelaskan persepsi akal.
[vi]) Yang dimaksud dengan “bentuk”
adalah penyatuan antara esensi dan materi, yakni yang menetapkan bahwa materi
itu adalah “sesuatu yang ini” atau “sesuatu yang itu.” Jika dalam suatu
pernyataan disebutkan “rumah batu,” maka sudah pasti dipersyaratkan adanya
“rumah” dan “batu.” Dalam hal ini, tidak akan ada rumah tersebut jika tidak ada
batu karena rumah tersebut adalah “rumah batu.” Akan tetapi, batu yang bisa
dibuat rumah juga bisa dibuat sebagai pagar, yakni “pagar batu.” Yang
membedakan “rumah batu” dan “pagar batu” itulah yang disebut bentuk atau
strukturnya. Artinya, “bentuk”-lah yang membedakan antara “rumah batu” dan
“pagar batu” tadi, bukan batu itu
sendiri.
[vii]) Isim nakirah-nya adalah dzihnun, artinya sama dengan adzhaanun. Di dalam kamus-kamus umum
kedua kata ini sering diartikan ingatan (mind)
atau akal (intellect)
[viii]) Aksiden secara harfiah berarti
“sesuatu yang jatuh pada yang lain.” Dalam pengertiannya yang lebih luas,
aksiden adalah sesuatu yang ditambahkan kepada substansi atau hakikat. Sebagai
contoh, apel merah. Dalam hal ini, warna merah adalah aksiden bagi apel, namun
warna merah tersebut bukanlah apel itu sendiri, tetapi warna merah tersebut
adalah sifat yang ditambahkan kepada apel. Jika karena sesuatu hal apel tadi
berubah menjadi warna hitam, maka ke-apel-an apel tadi akan tetap lekat pada
apel tersebut, inilah yang disebut substansi, yakni wadah atau tempat
sifat-sifat, sehingga walaupun apel tadi sudah berubah warna menjadi hitam, ia
tetap disebut apel, yaitu apel hitam. Warna merah dan hitam bagi apel tersebut
disebut aksiden. Aksiden biasanya digunakan untuk menjelaskan suatu substansi
secara lebih rinci. Harus diingat, substansi boleh ada tanpa tergantung kepada
aksiden.
[ix]) Menurut Ibn Sina, wahm adalah kemampuan untuk merasakan
suatu pengalaman mental dari suatu kejadian yang berbeda dengan kejadian yang
aktual.
[xi]) Atribut adalah sifat-sifat yang
dilekatkan pada sesuatu. Secara umum, atribut dapat dibedakan menjadi yakni atribut
esensial, yakni sifat yang harus melekat pada sesuatu yang tanpa sifat tersebut
maka sesuatu itu tidak bisa meng-ada, serta atribut akidental dimana wujud
sesuatu tidak tergantung pada sifat-sifat ini, yakni sifat tersebut bisa ada
dan bisa tidak. Misalnya “buku baru.” Dalam pernyataan ini, “baru” adalah
atribut, tepatnya atribut aksidental, karena buku tidak tergantung kepada sifat
baru, maksudnya buku tersebut akan tetap disebut buku walaupun tidak baru lagi.
Dalam pemahaman filsafat dan
metafisika, atribut sering disamakan dengan predikat.
[xiii]) Pemikir skolastik Eropa abad
pertengahan memaknai “eksistensi” sebagai ‘aksiden’ yang di dalam istilah Ibn
‘Arabi disebut “a’rad” dan bukan
“wujud.”
[xiv]) Bandingkan dengan istilah ‘logos’ dan ‘nous’ di dalam pemahaman Neo Platonis yang dimaknai sama dengan
‘wujud’, bahwa ternyata arti harfiah dari kedua kata itupun adalah
‘pengetahuan’ dan ‘kesadaran.’
[xv]) Mempunyai akar kata yang sama
dengan kata wajada, wawajida, yajidu, wajidatan yang
arti harfiahnya adalah mendapat, memperoleh dan lain-lain.
[xvi]) Lihat firman Allah, “Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS.
16:78)
[xvii]) Yang dimaksud penglihatan dalam
konteks ini adalah penyingkapan terhadap wujud dan realitas tak tampak oleh
indra penglihatan. Dalam istilah sufistis, penglihatan ini disebut mukasyafah.
[xviii])
Lihat firman Allah, “Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. 96:5).
Lihat pula firman Allah ketika menceritakan tentang keluarga Yaqub, “Dan
sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan
kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. 12:68)
[xix]) Hal ini dinyatakan di dalam suatu
ungkapan, “basit al-haqiqah kullu syai’
(wujud yang lebih tinggi akan memuat wujud yang lebih rendah dari wujud
tersebut)”.
[xx]) Substrat mempunyai makna yang sama
dengan substansi, yakni wadah atau tempat bagi sifat-sifat. Substansi adalah
sesuatu yang di dalamnya mewujud esensi atau kuiditas. Substrat adalah bentuk
jamak dari substratum. Di dalam filsafat Islam, substrat atau substansi
diistilahkan jauhar, yang menurut
para ahli kalam khususnya mazhab Asy’ariyyah,
adalah tempat sifat-sifat atau aksiden. Lihat catatan untuk penjelasan kata
aksiden pada catatan kaki sebelumnya.
[xxi]) Lihat di surat Al-Hasyr ayat 24,
“Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang
Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih Kepada-Nya apa yang ada di
langit dan di bumi.Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.
59:24)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar