Sifat-sifat dan
Tingkatan-tingkatan Persepsi
dalam Filsafat Mulla Sadra
Muhsin Araki
Islamic Centre England,
Inggris
Abstrak
Pengetahuan (cognition) dan persepsi sebagai isu-isu filosofis merupakan
bagian-bagian terpenting. Itulah karenanya, kedua hal tersebut mengambil bagian
yang lebih besar dalam penelitian filsafat Islam secara umum, dan lebih khusus
lagi, di dalam filsafat Mulla Sadra.
Dalam tulisan berikut ini, kami ingin
menjelaskan secara ringkas sifat-sifat persepsi serta tingkatan-tingkatannya
dalam pandangan Mulla Sadra. Untuk melakukan hal ini, terlebih dahulu kita
harus melihat secara sepintas sejarah pengetahuan di dalam filsafat Islam,
setelah itu kita akan mengembangkan pembicaraan dalam topik-topik berikut:
-
Pendekatan
Mulla Sadra dalam filsafat pengetahuan
-
Esensi
persepsi dalam filsafat Mulla Sadra
-
Persepsi
dan tingkatan-tingkatannya dalam filsafat Mulla Sadra
************
Pengenalan:
Tema dan Perkembangan Sejarah
Pengetahuan di dalam Filsafat Islam
S
|
ecara umum, filsafat pra-Islam (Yunani, Alexandria, dan Platonis Baru) tidak terlalu banyak
membahas masalah pengetahuan. Di dalam
sebuah bukunya, Einleitung in die
Philosophie, Oswald Kulpe menjelaskan fakta-fakta ini:
“Filosof-filosof terdahulu tidak pernah
menggagas tema pengetahuan atau persepsi sebagai isu khusus. Bahkan Plato
sekalipun, dia hanya menjelaskan pengetahuan di dalam suatu bagian yang terlalu
umum di dalam ‘Dialectic’nya.
Aristoteles juga membahas masalah ini di dalam ‘Metaphysics’nya. Namun, tak seorangpun dari mereka yang membuat
pembedaan yang cukup jelas tentang pengetahuan tersebut, mana yang merupakan
metafisika murni dan mana yang menjadi issu-issu logis saja.”
Penilaian tentang kebenaran dan keakuratan
pengetahuan adalah isu paling penting yang dibahas oleh filosof-filosof
terdahulu. Mereka hampir tidak pernah membahas tema-tema kontemporer seperti
hubungan antara faktor objektif dan subjektif di dalam pengetahuan, bagaimana
kesalinghubungan antara yang dipahami dan yang memahami di dalam suatu
persepsi, batasan pengetahuan manusia, serta defenisi sifat-sifat dan realitas
eksperimen-eksperimen murni.
Issu-issu lain seperti halnya perkembangan
dan dasar-dasar kebenaran pengetahuan, kesederhanaan jiwa (nafs) dan klasifikasi fakultas-fakultasnya dalam hubungannya dengan
persepsi dan topik-topik lain, pembagian pengetahuan mental ke dalam
pengetahuan mental khusus dan umum serta pembagian pengetahuan umum ke dalam
pengetahuan inisiatif dan spekulatif, merupakan bagian yang sangat penting
dalam konsep-konsep pengetahuan secara filosofis di dalam sejarah filsafat
pra-Islam. Sayangnya, tema-tema tersebut dibahas dalam penjelasan yang terlalu
ringkas dan belum jelas.
Para filosof Muslim pra Mulla Sadra (sekitar
antara tahun 1571 – 1640) menggagas topik-topik di atas secara luas. Mereka
tidak hanya menjelaskan ambiguitas yang umumnya masih terdapat dalam pandangan
filosof terdahulu tentang topik-topik tersebut, namun mereka juga memberikan
issu-issu baru tentang pengetahuan yang belum pernah disentuh sebelumnya.
Sebagai contoh, Muhammad Bin Muhammad Bin
Tarkhan al-Farabi (872 – 950) yang membagi pengetahuan menjadi pengetahuan
imajinatif dan pengetahuan afirmatif, telah mendorong pengembangan wacana
filsafat yang lebih luas dalam hal teori pengetahuan dan logika. Salah satu
teori baru yang pertama kali disampaikan dalam filsafat Islam yang berhubungan
dengan teori pengetahuan adalah “wujud mental”. Fakhruddin Razi (1149 – 1209),
adalah seorang filosof Muslim yang pertama kali menjelaskan masalah ini dalam
sebuah bukunya “al-Mabahits
al-Syariqiyyah” (Pemikiran-pemikiran Timur).
Kemudian, Khajah Nasiruddin mengembangkan
konsep ini dan bahkan akhirnya memunculkan defenisi baru tentang pengetahuan
dan persepsi. Sebelum Nasiruddin Tusi, para filosof percaya bahwa pengetahuan
dan persepsi tergantung pada bentuk gambaran atau kesan sesuatu di dalam akal (huwa as-sura al-hasilah min al-sya’i ladal
‘aql).
Meskipun para filosof besar seperti Farabi
dan Ibn Sina dan lainnya telah menggunakan defenisi di atas dalam karya-karya mereka,
namun defenisi tersebut diadopsi dari filsafat pra-Islam. Nanti setelah masa
Nasiruddin Tusi, barulah pengetahuan dan persepsi didefenisikan ulang sebagai “wujud
realitas dan esensi yang diketahui di dalam yang mengetahui.” Defenisi ini
merubah konsep pengetahuan secara radikal, ia telah merubah pengetahuan menjadi
suatu bentuk wujud yang diketahui di dalam yang mengetahui.
Signifikansi konsep “wujud mental” bukan
hanya tergantung kepada suatu kenyataan bahwa konsep tersebut telah memberikan
defenisi baru terhadap pengetahuan dan persepsi, namun lebih dari itu, konsep
ini memberikan nilai penting dalam penjelasan hubungan antara mental dan
realitas atau antara yang mengetahui dan yang diketahui. Penjelasan hubungan
inilah yang telah menjadi pijakan dalam pemahaman modern terhadap teori
pengetahuan.
Topik wujud mental telah memberikan konsep
baru terhadap teori pengetahuan dalam filsafat Islam. Topik ini juga telah
mempengaruhi analisis terhadap wujud, esensi dan nafs (jiwa). Namun perihal perkembangan dan bentuk
pengaruh-pengaruh tersebut bukanlah cakupan pembicaraan kita dalm tulisan ini.
Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan
empiris dan pengetahuan intuitif [a]) merupakan tema utama dalam
filsafat Islam. Di dalam pengetahuan empiris, yang mengetahui memahami
objek-objek yang diketahui melalui wujud mental, namun wujud mental tersebut
tidaklah sama dengan wujud eksternal objek yang diketahui tersebut. Sementara
itu, di dalam pengetahuan intuitif, objek yang diketahui di dalam realitas
eksternalnya mewujud di dalam yang mengetahui. Dengan kata lain, di dalam
pengetahuan intuitif, terjadi suatu penyatuan antara yang mengetahui dan yang
diketahui.
Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan
empiris dan pengetahuan intuitif telah membuka jalan bagi konsep yang paling
penting dalam filsafat Mulla Sadra. Dengan klasifikasi seperti ini, Mulla Sadra
kemudian memperkenalkan konsepnya tentang penyatuan antara akal, pemahaman akal
dan objek akal.
Tidak ada satupun data sejarah yang jelas
yang sempat mencatat kapan pembagian seperti Mulla Sadra ini dilakukan. Namun,
beberapa filosof Muslim awal seperti Ibn Sina, ketika menjelaskan pengetahuan
diri terhadap jiwa (nafs), telah
mendiskusikan masalah penyatuan antara akal dan objek akal dalam teori-teori
mereka.
Fakhruddin Razi dalam kitabnya al-Mabahits al-Syarqiyyah juga
mendiskusikan konsep penyatuan ini dengan mengatakan bahwa “fi anna ta’aqul al-syai’ li dzatih huwa
nafsi dzatih wa anna dzalika haadhiran abada” (pemahaman ‘yang mengetahui’
tentang dirinya adalah dirinya sendiri, dalam hal ini, kehadiran ‘yang
mengetahui’ adalah kehadiran yang terus menerus). Dalam buku ini Razi
menggunakan kata hudhur (intuitif,
kehadiran).
Di dalam filsafat yang dijelaskannya,
nampak bahwa Ibn Sina membedakan antara pengetahuan empiris dan pengetahuan
intuitif. Namun, penjelasan dengan defenisi yang jelas dan tepat tentang ilmu hudhuri hanya dapat kita temukan di
dalam filsafat Mulla Sadra.
Penjelasan di atas merupakan sejarah
ringkas dari konsep-konsep yang sangat penting di dalam analisis filosofis
teori pengetahuan sebelum Mulla Sadra. Belakangan, konsep-konsep tersebut
digunakan secara luas di dalam filsafat Mulla Sadra. Konsep-konsep tersebut
memiliki nilai penting yang sangat khusus bagi Mulla Sadra di dalam interpretasinya
tentang filsafat pengetahuan.
Sekarang marilah kita lihat beberapa
konsep-konsep penting yang berhubungan dengan pengetahuan dan persepsi di dalam
filsafat Mulla Sadra.
Penjelasan
Singkat Pandangan Mulla Sadra tentang Pengetahuan dan Persepsi
1.
Primordialitas Wujud (Ishalatul Wujud)
Teori primordialitas wujud menjadi pilar
bagi filsafat Mulla Sadra. Teori ini menjelaskan semua kontradiksi dan
kesulitan yang pernah dihadapi oleh filosof pra Mulla Sadra ketika mejelaskan
teori ‘wujud mental.’
Salah satu kesulitan yang cukup rumit yang
dihadapi oleh teori ‘wujud mental’ adalah bagaimana cara menjelaskan pengiriman
karakteristik ‘yang diketahui’ ke dalam wilayah wujud mental. Untuk itu,
marilah kita menelusuri masalah ini lebih jauh.
Kita mengetahui bahwa para pendukung teori wujud
mental mempercayai bahwa pengetahuan dalam realitasnya adalah esensi ‘yang
diketahui’ yang mempunyai realitas mental dan tanpa hal ini pengetahuan menjadi
tidak mungkin. Disini, ada sebuah pertanyaan yang mungkin muncul.
Jika realitas ‘yang diketahui’ mewujud di
dalam mental, maka seharusnya sifat-sifat eksternalnyapun harus mewujud di
dalam mental tersebut. Artinya, jika api itu dipahami, maka sifat panas dan
sifat membakarnya juga harus mewujud di dalam pikiran. Atau, jika salju bisa
diketahui, maka sifat dingin dan kesejukannya juga harus hadir di dalam
pikiran. Dalam hal ini, jika pikiran memahami api dan salju pada waktu yang
sama, maka di dalam pikiran ‘hadir’ dingin dan panas secara bersamaan. Namun
karena sifat api dan salju adalah dua sifat yang bertentangan, maka ‘kehadiran’
keduanya di dalam pikiran secara bersamaan menjadi tidak mungkin.
Mulla Sadra menjawab pertanyaan ini dengan
merujuk kepada teori keunggulan wujud (the
primacy of existence). Sadra memberikan penjelasan seperti berikut:
Penolakan-penolakan terhadap adanya ‘wujud
mental’ terjadi karena kebingungan dalam memahami antara esensi (mahiyah) sesuatu serta wujud ril yang
berkaitan dengan realitas eksternal. Sifat-sifat yang dimiliki oleh api dan
salju (seperti yang kita kenal) adalah wujud eksternal dan bukan wujud
mentalnya.
Teori lain yang diperkenalkan di dalam
filsafat Mulla Sadra adalah teori tentang gerakan substansial (al-harakah al-jawhariyyah). Mulla Sadra
meyakini bahwa terdapat suatu gerak intrinsik di dalam semua realitas pisik.
Namun, gerakan ini secara konstan bergerak secara transendental menuju
kemurnian dan sifat-sifat abstrak. Pengetahuan dan persepsi menandai permulaan
bentuk abstrak tersebut dan keduanya berhubungan dengan gerakan substansial
ini.
Mulla Sadra mengatakan, “adalah suatu
kenyataan bahwa esensi manusia pada saat penciptaan adalah materi murni tetapi wujud
dan persepsinya adalah sesuatu yang abstrak dan spiritual. Ketika para filosof
lain tidak terlalu mementingkan konsep gerakan substansial ini, mereka akhirnya
tidak dapat memberikan jawaban terhadap banyaknya isu-isu seperti kontingensi [b]) dan keabadian, juga
topik-topik tentang pensifatan (attachment)
dan abstraksi sifat-sifat diri (nafs).”
Dari penjelasan di atas terlihat jelas
bahwa Mulla Sadra menganggap sifat-sifat diri sebagai sesuatu yang non-material
dan bersifat abstrak. Sadra juga berkesimpulan bahwa:
- Esensi manusia diciptakan setelah penciptaan tubuh material sebagai konsekuensi dari gerakan transendental.
- Esensi manusia tidak mempunyai pengetahuan dan persepsi apapun, esensi manusia bahkan tidak memiliki pontensi untuk itu.
- Karena kesederhanaan dan sifat abstrak esensi manusia, maka ia mempunyai sifat-sifat ketunggalan murni.
- Pengetahuan manusia dimulai dengan objek-objek indrawi. Jika pikiran sudah memperoleh informasi yang cukup, selanjutnya pikiran akan mulai untuk mengembangkannya melalui hubungan dengan bentuk-bentuk intuitif pengetahuan. Pengembangan pengetahuan manusia di dalam realitas terjadi melalui berbagai bentuk pembagian konseptual dan penilaian pengetahuan intuitif.
Berikut ini adalah penjelasan singkat
Muthahhari dari komentar-komentar Mulla Sadra mengenai hal ini.
“Kejamakan efek-efek dapat dinisbatkan pada
sebab-sebab yang beragam, variasi di dalam ruang tempat efek-efek tersebut
mewujud, kejamakan instrumen, atau kelinieran efe-efek tersebut dalam
hubungannya antara satu dengan yang lain.”
“Seperti halnya sifat-sifat diri (nafs) dan berbagai bentuk
pengetahuannya, hal itu tidak bisa disandarkan pada kejamakan ‘diri’ itu
sendiri karena ‘diri’ adalah sesuatu yang sederhana dan abstrak. Meskipun jika
sekiranya ‘diri’ tersebut bersifat kompleks, namun kompleksitasnya tidak akan
cukup untuk menjadi sebab bagi keberagaman sifat-sifatnya. Satu-satunya
penjelasan yang mungkin dalam hal ini adalah kejamakan instrumennya.”
“Gabungan berbagai instrumen ini sebagai
pelengkap terhadap persepsi indra yang sederhana yang terakumulasi sepanjang waktu,
akan membentuk dasar bagi akal manusia untuk mencapai bentuk-bentuk konseptual
dan penilaian pengetahuan, dan dengan mengikuti proses ini seperti halnya
bentuk-bentuk induktif suatu analisis, [c]) pengetahuan akan bisa
dikembangkan tanpa batasan.”
Konsep tentang penyatuan antara akal,
pemahaman akal dan objek akal, merupakan pengembangan filosofis yang telah
memberikan inspirasi baru dalam menjelaskan proses pengetahuan.
2.
Realitas Persepsi dalam Filsafat Mulla Sadra
Mulla Sadra menganggap persepsi sebagai “wujud
yang diketahui di dalam yang mengetahui, tetapi bukan dalam bentuk imanen.”
Untuk menjelaskan pengetahuan, Mulla Sadra
mengatakan bahwa: “pengetahuan adalah wujud abstrak yang terbentuk di dalam
yang mengetahui.” Ketika jiwa, karena kesederhanaan dan kehalusan
sifat-sifatnya, merefleksikan gambaran-gambaran dari alam indra, alam imajinasi
dan alam akal, prosesnya sama dengan pantulan sesuatu pada sebuah cermin. Akan
tetapi, pantulan dalam dua proses ini mempunyai perbedaan yang mendasar. Pada
suatu cermin yang memantulkan gambar sesuatu, dalam proses ini cermin bersifat
pasif; tetapi pada jiwa manusia, jiwa mempunyai peran aktif dalam menciptakan
gambar-gambar ‘bayangan’ yang direfleksikannya.
Dengan demikian, pengetahuan dan persepsi
merupakan evolusi dan perkembangan diri (nafs).
Melalui setiap persepsi, jiwa akan mencapai relaitasnya yang baru. Demikian
seterusnya.
Meskipun setiap wujud pemahaman adalah
suatu realitas tertentu bagi dirinya, wujud tersebut juga merupakan realitas
bagi jiwa ‘yang mengetahui.’ Namun harus diperjelas bahwa, dua realitas ini
berada dalam satu esensi yang sama. Dengan berdasarkan pada teorinya tentang
penyatuan antara akal, pemahaman akal dan objek akal, Mulla Sadra mengatakan
bahwa di dalam persepsi, kekuatan ‘yang mengetahui’, ‘yang diketahui’ dan
‘pengetahuan’ itu bukanlah tiga entitas yang berbeda. Di dalam setiap perbuatan
mempersepsi, jiwa (nafs) menciptakan
realitas ‘yang diketahui’, namun realitas tersebut juga adalah realitas ‘yang
mengetahui’ dan ‘mempersepsi’ itu sendiri tidak bisa dipisahkan dari realitas
tersebut.
Di dalam bukunya al-Asfar pada bab “Penjelasan bahwa Pemahaman Berada di dalam
Esensi dari Penyatuan Antara Akal dan Objek Akal” (Clarification that Intelligence is in Esence the Unity Between the
Intelligible and the Intelligent), Mulla Sadra menulis: “Issu yang
berhubungan dengan bagaimana cara manusia memahami objek eksternal merupakan
salah satu subjek filosofis terbesar yang banyak disebutkan; sayangnya, para
filosof belum pernah menjelaskan masalah ini dengan tuntas.” Karena itu, Mulla
Sadra mulai menerangkan masalah ini seperti yang kami singkatkan berikut ini.
Menurut Mulla Sadra, gambaran-gambaran
(pahaman) dibagi dalam dua kategori:
1. Gambaran yang didasarkan pada sesuatu yang
material, ruang dan kondisinya. Elemen material ini bukanlah sesuatu yang dapat
dipikirkan (conceivable). Memahami
gambaran ini tidak mungkin diperoleh melalui indra, ia dipahami secara tidak
langsung. Yang bisa dipahami secara langsung hanyalah abstraksi dari wujud
materialnya yang nyata.
2. Gambaran yang tidak didasarkan pada sesuatu
yang material, ruang maupun keadaan. Gambaran ini merupakan suatu abstraksi
yang sempurna yang dapat dianggap sebagai pengetahuan aktual yang telah
diproses, atau bisa juga merupakan abstraksi yang belum sempurna yang dapat
dianggap sebagai persepsi atau pretensi aktual.
Mulla Sadra kemudian melanjutkan: “Jika
sesuatu itu dapat dipikirkan, maka anggapan ini dapat diterima hanya pada
kondisi bahwa terdapat penyatuan antara pengetahuan dan pikiran; sebaliknya,
hal itu tidak mungkin.” Oleh karena itu, simpulan dari penjelasan ini adalah
bahwa jika penyatuan antara pengetahuan dan pikiran adalah konsep yang
tertolak, maka pengetahuan pun menjadi tidak mungkin dengan sendirinya.
Alasannya adalah, jika pengetahuan mempunyai wujud yang berbeda dengan pikiran,
maka pengetahuan tersebut tidak akan pernah mewujud.
Di dalam al-Asfar pada bab “Penjelasan bahwa Kecerdasan adalah Keharmonisan
atau Penyatuan antara Esensi Akal dan Objek Akal” (To Explain that Discernment is the Concord or Unity Between the Esence
of Intelligent dan the Intelligible), Mulla Sadra mengatakan: “Bagaimana
cara jiwa memahami bentuk objek akal merupakan salah satu persoalan filosofis
tersulit sehingga bahkan filosof terbesar kita sekalipun tidak mampu
menjelaskannya secara sempurna.” (al-Asfar,
Vol. 3, hal. 312). Berikut ini kami rangkumkan tulisan Sadra sebagai penjelasan
dalam masalah ini.
Menurut Mulla Sadra, sesuatu itu mempunyai
dua jenis bentuk yang berbeda:
1. Bentuk pisik yang tergantung kepada ukuran,
waktu dan ruang. Bentuk-bentuk dari objek eksternal adalah materi dan karenanya
bentuk tersebut bersifat sama dengan sifat materi. Bentuk tersebut tidak bisa
masuk ke dalam pikiran dan diketahui seperti apa adanya, karena bentuk-bentuk
mental dan bentuk-bentuk material sangat berbeda di dalam beberapa aspek
esensialnya. Bentuk partikular di dalam kondisi pisiknya tidak dapat dipersepsi
atau dipahami, juga tidak bisa dirasakan kecuali melalui suatu kontingensi.
Dengan kata lain, apa yang bisa dipahami dengan indra, atau yang bisa dirasakan,
hanyalah bentuk abstrak. Bentuk pisik hanya dapat dipahami dengan indra melalui
pemahaman sekunder.
2. Bentuk yang bebas dari waktu dan ruang.
Jika keabstrakan (immaterialitas) cukup dalam dan mutlak, maka bentuk tersebut
akan mempunyai suatu persepsi maujud atau aktual, dan jika immaterialitas (tajarrud) ini bersifat parsial dan tak
sempurna, maka bentuk tersebut akan bisa dipahami melalui indra pisik. (al-Asfar, Vol. 3, hal. 313)
Mulla Sadra kemudian menambahkan: “untuk
dapat dipahami, sesuatu itu memerlukan wujud akal yang bisa memahaminya. Jika
akal dan objek pahaman berada pada tingkatan yang berbeda, maka objek tersebut
tidak akan bisa menjadi objek pengetahuan. Jika objek tersebut mempunyai wujud
yang sempurna namun berbeda dengan wujud akal, maka objek tersebut tidak akan
bisa dipahami.” (al-Asfar, Vol. 3.
hal. 315)
Mulla Sadra melanjutkan: “kita telah
menjelaskan pada bagian awal bahwa dua hal yang bersatu harus memiliki wujud
dan status yang sama. Jika salah satu di antaranya mempunyai wujud primer, maka
yang keduapun harus memiliki wujud dengan sifat-sifat yang sama, dan jika yang
pertama mempunyai potensialitas menjadi suatu wujud maka yang keduapun harus
mempunyai kemungkinan yang sama.”
“Sebelumnya kita telah membagi objek
pahaman menjadi dua bagian, potensial dan aktual. Hubungan tersebut di atas
berlaku terhadap dua objek ini. Maksudnya, penyatuan antara ‘yang memahami’ dan
‘yang dipahami’ terjadi baik secara potensial maupun secara aktual. Kita tidak
boleh salah dalam mengasumsikan bahwa indra kita, di dalam proses pemahaman,
menguraikan bentuk-bentuk ‘yang bisa dipahami’ dari esensinya kemudian memahami
sifat-sifatnya yang kemudian disaring oleh imajinasi kita. Hal itu disebabkan
pada kenyataan bahwa bentuk-bentuk objek eksternal yang terikat pada materi dan
sifat-sifatnya sama dengan materi, tidak bisa masuk ke dalam pikiran, karena
bentuk mental dan bentuk material berbeda di dalam aspek-aspek esensialnya. (al-Asfar, Vol. 3, hal. 315-316).
Sadra kemudian menambahkan lagi: “segala sesuatu
yang mempunyai bentuk-bentuk material tidak akan pernah bisa diketahui oleh
pikiran secara konseptual, pemahaman terhadap bentuk-bentuk tersebut hanya bisa
melalui persepsi iluminasi yang diberikan oleh Allah kepada kita. Kekuatan
iluminatif ini memberikan aktualitas terhadap persepsi sebagaimana terhadap
‘yang dipersepsi’. Sebelum memasuki kekuatan iluminasi, segala sesuatu berada
di dalam Keadaan Potensialitas. Bentuk-bentuk yang nampak di dalam persepsi
material dan indra kita, merupakan dasar untuk menerima kekuatan iluminatif
yang kemudian menjadi ‘yang dipersepsi’, ‘yang mempersepsi’, dan ‘persepsi’ itu
sendiri. Dengan cara ini pula kita dapat menjelaskan (penyatuan antara) akal,
objek akal dan pemahaman akal.” (al-Asfar,
Vol. 3, hal. 317)
Menurut Mulla Sadra, persepsi di dalam tiga
tingkatannya yakni indra, imajinasi dan akal,
bukanlah apa-apa selain wujud baru dari sifat manusia, sama dengan
realitas-realitas lain yang telah diciptakan oleh Allah Swt. Esensi manusia
mempunyai keberagaman instrumen dan menampak di dalam berbagai kondisi-kondisi
unik untuk mengembangkan instrumen-instrumen tersebut (misalnya melakukan
hubungan dengan sesuatu yang material).
Melalui karakteristik-karakteristik khusus
ini, persepsi manusia masuk pada tahap permulaan (inception). Permulaan spiritual yang mematerial karena kasih sayang
Tuhan ini, menjadi sumber kejadian yang memberikan kemampuan bagi jiwa untuk
menyatu dengan ‘yang dipersepsi’ dan ‘persepsi’ itu sendiri.
Dengan kata lain, Mulla Sadra percaya bahwa
“setiap persepsi adalah tahapan baru di dalam proses wujud yang diciptakan bagi
jiwa melalui kerahiman Tuhan.” Iluminasi ilahiyyah inilah yang menciptakan
gambar-gambar yang sama dengan yang digunakan dalam penciptaan gambar-gambar
oleh imajinasi kita, suatu fakultas imajinasi yang menyatu di dalam jiwa
manusia.
Setelah tahap imajinasi, jiwa memulai
aktifitasnya di dalam tingkat akal yang juga merupakan bentuk tahapan realitas.
Melalui pertolongan ilahiyyah, akal ini menciptakan bentuk-bentuk akal yang di dalamnya
juga mewujud sebuah tahapan wujud jiwa itu sendiri. Di dalam tahapan ini,
bentuk-bentuk akal akan menyatu dengan akal dan objek-objek akal.
Fase-fase
dan Tingkatan-tingkatan Persepsi dalam Filsafat Mulla Sadra
Pada bagian “jenis-jenis persepsi” di dalam
kitab al-Asfar, Mulla Sadra membagi
persepsi ke dalam empat jenis: indra, imajinasi, penilaian, dan akal; namun
kemudian Sadra merangkumnya menjadi tiga jenis saja berdasarkan pembagian
wujud: alam indrawi, alam ide dan alam akal.
Persepsi indra didasarkan pada sifat pisik
dimana ‘yang mempersepsi’ memahami realitas pisik dengan segala
karakteristiknya yang terikat pada waktu, ruang, kualitas, kuantitas dan
kondisi-kondisi.
Namun, apa yang hadir pada ‘yang memahami’
hanyalah gambaran dari ‘yang dipahami’ dan bukan realitas pisik yang
sebenarnya. Jenis gambaran objek yang dibuat oleh ‘yang memahami’ haruslah sama
dalam sifat-sifatnya dengan ‘yang dipahami.’ Jika kesamaan ini tidak terpenuhi,
maka persepsi pun tidak akan bisa dicapai. Dalam hal ini, gambaran-gambaran
yang dibuat di dalam persepsi indra adalah abstraksi yang tidak sempurna dari
karakteristik-karakteristik pisik.
Setelah tahapan persepsi indra, tahapan
selanjutnya adalah persepsi imajinasi. Dalam tahapan ini, efek yang dihasilkan
sama dengan gambaran-gambaran yang dibuat dalam tahapan sebelumnya.
Di dalam tahapan persepsi penilaian (tawahhum), [d]) objek persepsi mulai
dipahami secara akal, namun pemahaman ini belum dalam kerangka konsep-konsep
yang umum.
Di dalam tahapan persepsi akal, persepsi di
dasarkan pada realitas dan esensi sesuatu tanpa adanya keterkaitan dengan
berbagai pertimbangan dengan kondisi khusus yang berhubungan dengan realitas.
Hal inilah yang membuat persepsi akal ini lebih inklusif dan bersifat umum.
Menurut Mulla Sadra, setiap tahapan
persepsi memerlukan suatu derajat atau bentuk abstraksi. Di dalam persepsi
indra, ada tiga kondisi yang harus terpenuhi:
1. Materi dari ‘yang dipahami’ hadir sebelum
terjadinya persepsi.
2. ‘Yang dipahami’ selalu menyatu dengan
sifat-sifatnya.
3. ‘Yang dipahami’ merupakan partikular dan
tidak bersifat umum.
Tahapan
persepsi imajinasi tidak memerlukan kondisi yang pertama sedangkan
tahapan persepsi penilaian tidak tergantung kepada syarat kedua. Dan di dalam
tahapan persepsi akal, ketiga kondisi di atas tidak dipersyaratkan.
Perbedaan antara tahapan persepsi penilaian
dan tahapan persepsi akal bukan karena sifat-sifat intrinsik persepsi itu
sendiri; perbedaan keduanya disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti
halnya keterikatan dan keterhubungan dengan issu-issu partikular, atau tidak
adanya karakteristik-karakteristik tersebut. Karena itu, persepsi penilaian (tawahhum) menjadi tahapan awal bagi
persepsi akal. Atas dasar inilah, persepsi akhirnya dibagi menjadi hanya tiga
jenis saja. (al-Asfar, Vol. 3, hal.
360-362)
Dari penjelasan di atas kita membuat
kesimpulan sebagai berikut.
1. Persepsi mempunyai empat tahapan, yaitu:
- Persepsi indra. Persepsi ini didasarkan pada hubungan pisik atau relasi aktual antara ‘yang memahami’ dengan ‘yang dipahami.’ Persepsi pada tahap ini akan selesai jika hubungan langsung ‘yang memahami’ dan ‘yang dipahami’ juga terputus.
- Persepsi imajinasi. Pada persepsi ini, pikiran manusia menyimpan suatu gambaran dari bentuk ‘yang dipahami’ melalui persepsi indra. Gambaran ini akan terus tersimpan bahkan ketika hubungan dengan objek yang dipahami itu sudah terputus. Gambaran yang tersimpan ini akan memiliki sifat-sifat yang sama dengan gambaran yang dipersepsi dengan indra, karena sifat-sifat ini merupakan bagian dari esensial pisik objek tersebut.
- Persepsi penilaian. Pada tahapan ini, pikiran membuang semua sifat-sifat pisik gambaran yang dipahami tadi tanpa harus memutuskan semua keterhubungan antara gambaran abstrak dan realitas pisiknya. Gambaran yang dibuat oleh pikiran pada tahapan ini tidak bisa dihubungkan dengan apapun kecuali dengan realitas individual atau realitas partikular dari ‘yang dipahami.’ Gambaran ini sama dengan gambaran yang dibuat di dalam pikiran ketika sebuah objek terlihat dari kejauhan tanpa adanya kejelasan tentang sifat-sifat yang terlihat tersebut, apakah binatang atau seseorang, bagaimana warnanya, bentuk dan ukurannya, dan lain-lain.
Gambaran tersebut,
meskipun terlepas dari semua sifat-sifat relatif, namun ia tetap bisa
dihubungkan dengan objek partikular dan bukan kepada yang lain. Partikularitas
objek ini diambil dan dimasukkan ke dalam persepsi pada tahapan ketiga. Pada
tahapan ini, walaupun sifat-sifat pisik dan indrawi ‘yang dipahami’ telah
dibuang, namun gambaran tersebut tetap bersifat tunggal (singular) dan individual dan karenanya tidak bisa dinisbatkan
kepada yang lain.
- Persepsi akal. Pada tahapan ini, pikiran membuang semua sifat-sifat objek bahkan termasuk singularitasnya. Setelah itu, gambaran yang dipersepsi tadi menjadi konsep umum yang dapat dinisbatkan bukan hanya kepada ‘yang dipahami’ yang telah dirasakan secara aktual tadi, tetapi juga kepada contoh-contoh lain yang mempunyai kesamaan umum dengan objek yang dipahami tersebut. Inilah tahapan untuk abstraksi yang sempurna dan mutlak bagi gambaran-gambaran ‘yang dipahami.’
2. Perbedaan antara persepsi indra, imajinasi
dan akal adalah perbedaan yang fundamental dan intrinsik. Setiap tahapan
persepsi ini mewakili suatu tingkatan wujud wujud jiwa yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Walaupun demikian, perbedaan antara persepsi penilaian dan
persepsi akal terletak pada ‘yang dipersepsi’nya, yakni bahwa persepsi
penilaian memahami sifat-sifat partikular sedangkan persepsi akal memahami
konsep yang umum. Perbedaan ini bukanlah perbedaan intrinsik. Karenanya,
pembagian di atas mereduksi pembagian tingkatan persepsi menjadi hanya tiga
tahapan saja: indra, imajinasi dan akal, suatu pembagian yang lebih dekat
dengan pembagian alam dengan sifat-sifatnya yang berbeda: alam materi (‘alam nasut), alam ide (‘alam al-mitsal atau ‘alam malakut) dan alam akal (‘alam jabarut).
Menurut doktrin
Mulla Sadra, struktur ontologis realitas terdiri dari tiga alam. Seluruh bentuk
materi yang berhubungan dengan persepsi indra seperti manusia, binatang, hitam,
putih dan lain-lain, disebut sebagai pahaman pertama (first intelligible, al-ma’qulat al-awwal) [e]) yang terletak pada lapisan
terbawah pada struktur ontologis. Pahaman pertama ini merupakan bagian dasar
dalam pemahaman manusia.
Setelah itu, pemahaman
tingkatan kedua adalah alam gambaran-gambaran murni yang berhubungan dengan
konsep-konsep logis misalnya keumuman (generality),
ketunggalan (singularity), differensia dan aksiden, yakni konsep-konsep yang secara umum digunakan di
dalam logika sebagai karakteristik pembeda dan sebagai pemahaman logis atau
pemahaman sekunder (secondary
intelligible, al-ma’qulat al-tsani). [f])
Pikiran akan
mencapai pemahaman kedua ini setelah mencapai pemahaman pertama. Pikiran
selanjutnya membuat konsep-konsep baru yang tidak dapat dinisbatkan kecuali
pada konteks-konteks yang sangat terbatas. Lapisan ini berada pada lapisan
tengah dari struktur ontologis.
Akhirnya, sampailah
pada pemahaman filosofis sekunder (the secondary philosophical intellection, al-ma’qulat al-tsani
al-falsafi). Pada tingkatan ini, terdapat
konsep-konsep filosofis yang umum misalnya wujud, non-wujud, penyatuan (unity),
kejamakan (diversity),
kontingensi (contingency) dan
lain-lain, yang kesemuanya sama dengan gambaran-gambaran logis sekunder, yakni
keduanya tidak mempunyai realitas eksternal. Namun demikian, kedua konsep ini
dapat dinisbatkan kepada contoh-contoh eksternal, misalnya manusia eksternal,
yang kontingen di dalam sifat-sifatnya, tetapi tidak umum di dalam aplikasinya.
Pemahaman pada level
ini merupakan konsep-konsep pemahaman yang sangat umum yang dapat dimiliki oleh
akal, yang berbeda dengan pemahaman pertama, dapat mempunyai cakupan yang lebih
luas. Entitas-entitas akal inilah yang terletak pada puncak struktur ontologis.
(al-Asfar, Vol. 1, hal. 332, fi an-nal
wujud ‘ala ayyi wajhun yughal in-nahu minal ma’qulat al-tsani).

[a]) Pembagian ini sama dengan pembagian pengetahuan ke
dalam pengetahuan lahiriah dan pengetahuan batiniah.
[b]) Kontingensi adalah sifat-sifat
yang mungkin. Tema kontingensi dalam hal ini adalah pensifatan
kemungkinan-kemungkinan terhadap wujud atau kepada sesuatu. Wujud yang
kontingen adalah wujud yang mempunyai sifat-sifat mungkin, yakni mungkin ada
dan mungkin tidak, atau wujud yang mempunyai awal, yang diciptakan, yang
mempunyai gerak, dan lain-lain. Sebaliknya, wujud yang tidak memiliki
sifat-sifat mungkin ini disebut Wujud Wajib, itulah Wujud Allah Swt.
[c]) Analisis induktif adalah penalaran
yang dimulai dari pernyataan-pernyataan khusus untuk membuat suatu pernyataan
umum. Di dalam metafisika, analisis ini memberikan keyakinan bahwa keteraturan
di masa lalu dan masa kini akan mengsinambungkan keteraturan-keteraturan di
masa yang akan datang. Lihat penjelasannya yang cukup panjang di dalam Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Cetakan ketiga, hal. 341-344.
[d]) Seperti yang disebutkan pada
bagian pertama, kata tawahhum agak
sulit diterjemahkan ke dalam bahasa lain secara tepat. Pada bagian ini, penulis
menterjemahkan kata tersebut ke dalam bahasa Inggris menjadi estimative perception, itulah karenanya
kami menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia menjadi persepsi penilaian.
Pada tempat lain dijelaskan bahwa tawahhum
adalah pemahaman terhadap objek atau kondisi khusus pada tingkatan (jiwa)
binatang sehingga tidak ada (tepatnya belum ada, ed.) perujukan pemahaman
tersebut dengan pengalaman pikiran universal dan konseptual. Lihat penjelasan kata “tawahhum” di dalam Dictionary of Islamic Philosophical Terms di www.muslimphilosophy.com,
[e]) Atau al-ma’qulat al-ula, yaitu pernyataan-pernyataan a priori, yang tidak memerlukan lagi
bukti-bukti pembenaran, karena kebenarannya terbukti dalam dirinya sendiri.
Semua rumus-rumus matematis dan logika-logika dasar masuk dalam kelompok ini.
Misalnya, pernyataan “keseluruhan pasti lebih besar daripada sebagian,” atau “1
+ 1 dengan operasi bilangan desimal pasti sama dengan 2.”
[f]) Yakni pernyataan-pernyataan yang masih
memerlukan pembuktian logis dengan menggunakan pahaman pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar