Selasa, 24 April 2012

Tulisan Petani - neolib dan WTO


Petani, WTO, dan Jerat Neo-Liberalisme



Kamis, 15 Desember 2005
Mengapa dalam rangka menyelamatkan perekonomian nasional pemerintah tegas "menumbalkan" kesejahteraan para petani? Bukankah impor beras dilakukan di saat para petani sedang merayakan panen raya dan di tengah stok logistik beras nasional mencapai 1,7 juta ton? Namun, menurut pemerintah, selama 1-2 bulan stok beras nasional menipis hingga tinggal 900 ribu ton. Padahal dalam tempo 1-2 bulan, komsumsi beras nasional mencapai 800 ribu ton.

Kebijakan impor beras jika ditelaah secara mendalam sebetulnya merupakan kebijakan "proyeksional" pertanian yang mengacu pada liberalisasi pertanian. Kebijakan impor beras identik dengan kebijakan liberalisasi pertanian semenjak zaman Soeharto hingga Megawati Soekarnoputri. Ini merupakan konsekuensi dari hasil kesepakatan terhadap pasal-pasal AOA (Agreement On Agriculture) WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) yang disetujui tahun 1995. Indonesia yang masuk dalam kesepakatan AOA WTO terpaksa memenuhi beberapa komitmen ekonomi-politik AOA.

Pertama, perluasan pasar. Pemerintah Indonesia harus menerima kenyataan bahwa pasar domestik bisa diintervensi oleh produk pertanian negara lain. Demikian pula Indonesia juga harus melakukan kebijakan impor beras. Ini berdampak sejak 1998/1999 Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia sebanyak 4,8 juta ton. Indonesia kini bahkan menjadi pembeli beras sebanyak 10% dari jumlah beras yang diperdagangkan di dunia, sekitar 20-30 juta ton per tahun. Rata-rata perkiraan permintaan per tahun beras impor mencapai 2,7 juta ton. Dampak lain perluasan pasar, seperti dicatat Bonnie Setiawan (2003), terjadi penurunan harga gabah pada 1997 dan tahun-tahun berikutnya, karena harga gabah ataupun harga beras petani dalam negeri harus disesuaikan atau dibuat lebih murah dibanding harga beras impor.

Kedua, subsidi domestik. Dalam nota kesepakatan AOA, setiap negara harus mengurangi beban subsidi bagi petani dan pertanian agar subsidi dari negara tidak mendistorsi pasar. Sejak 1998, pemerintah akhirnya mencabut subsidi atas input-input pertanian, termasuk subsudi pupuk, benih ataupun racun hama. Akibatnya, petani menanggung beban mahalnya harga dan biaya produksi berupa harga pupuk yang terus merangkak naik, dan juga ongkos produksi lainnya. Dampak penghapusan subsidi pertanian sejak akhir kekuasaan Soeharto mengakibatkan biaya produksi menjadi tinggi dan tingkat kecukupan modal petani menjadi berkurang. Di lain pihak, harga jual gabah di tingkat petani menjadi rendah sehingga tidak seimbang dengan biaya produksi yang dikeluarkan.

Ketiga, pengeliminasian peran STE (State Trading Enterprises). Negara yang menyepakati perjanjian pertanian (AOA) WTO harus menghapus peran monopoli Bulog dalam proses distribusi dan jual beli produk pertanian. Bulog tidak lagi menjadi pemain tunggal dalam proyek ekspor dan impor produk pangan. Peran Bulog dibatasi hanya pada proyek ekspor-impor beras dan bukan lagi sebagai stabilisator harga. Peran pengimpor produk pangan dan pertanian menjadi hak berbagai perusahaan perorangan dan asing yang beroperasi di Indonesia. Tentu ini sangat menguntungkan pengusaha importir, pencari rente ekonomi, dan birokrat korup.

Kebijakan politik pertanian pemerintahan Orde Baru hingga SBY-JK yang membebek kepentingan perdagangan bebas seperti termaktub dalam pasal-pasal AOA WTO merupakan bentuk pemarjinalisasian petani. Jika di zaman kolonial petani menjadi objek pemerasan ekonomi atas nama ideologi kapitalisme agraris; dan di zaman Orde Baru petani menjadi objek penindasan politik pangan murah dan objek kebijakan "revolusi Hijau" yang menghancurkan kemandirian petani; saat ini petani menjadi objek kebijakan politik pertanian yang bercorak liberal, memihak agenda liberalisasi.

Kebijakan impor beras sendiri ataupun kebijakan pertanian yang mengacu kepada liberalisasi pertanian sesuai keinginan anggota WTO, merupakan bentuk pemiskinan petani. Petani di Indonesia yang tidak memiliki kekuatan politik struktural -- dalam Sensus 1993, 45 juta petani tergolong petani gurem (subsisten) tanpa pemilikan tanah yang mampu menghasilkan surplus produksi dan 70% tanah pertanian dikuasai oleh petani berdasi -- dipaksa menjadi korban liberalisasi pertanian. Petani menjadi objek permainan harga sarana produksi pertanian, seperti mahalnya harga pupuk, benih, dan racun hama. Di satu sisi racun hama dikuasai oleh perusahaan-perusahaan TNC (Trans National Corporations), sedangkan di sisi lain harga jual produk pertanian dibatasi oleh kebijakan politik pangan murah. Sekarang masih harus "digempur" oleh masuknya produk beras impor dengan harga pasaran yang lebih rendah.

Kebijakan pertanian pemerintahan Soeharto hingga SBY-JK selalu memarginalisasi petani. Sementara negara-negara maju semacam AS, China, Eropa, Jepang cenderung bersikap ambivalen dengan tetap memroteksi keberlangsungan pertanian dalam negeri. Dari fakta itu, boleh jadi petani Indonesia telah dijadikan tumbal kekuasaan. Kebijakan pertanian di AS sejak lama sampai sekarang masih mengandalkan New Deal Farms (NDF) dan Uni Eropa mengandalkan Common Agricultural Policy (CAP), yang isinya memberikan proteksi atas pembangunan sektor pertanian. Sampai sekarang kebijakan pertanian di AS, China, Uni Eropa terus melindungi kepentingan petani domestik. Meski mereka bermain "culas" melalui AOA WTO dengan memaksa negara dunia ketiga untuk membuka pasar pangannya.

Beban penderitaan petani akibat kebijakan pertanian yang pro-liberalisasi pertanian, ternyata bertambah berat karena petani juga menjadi korban dari kebijakan ekonomi-politik negara yang memuat agenda neo-liberalisme. Dari kebijakan privatisasi air -- yang membuat sumber air menjadi komoditas --, berdampak hak serta akses air bagi pertanian semakin berkurang. Dalam sebuah penelitian, hak petani atas penggunaan sumber daya air tahun 2004 tinggal 50% dan justru sumber air banyak digunakan untuk kepentingan komersialisasi oleh berbagai perusahan AMDK (air minum dalam kemasan). Petani di Indonesia pun semakin terbebani oleh kenaikan harga BBM mengingat sarana teknologi pertanian di Indonesia juga tergantung kepada teknologi dasar yang menggunakan enerji BBM.

Melihat realitas di atas, petani Indonesia memerlukan kesadaran politik untuk membangun gerakan anti-neo-liberalisme. Mereka harus membangun gerakan sosial, yang bertujuan merombak kebijakan pertanian negara yang pro pasar bebas menjadi kebijakan yang memihak petani. Petani dalam berbagai wadah organisasi petani bisa bergabung dengan organisasi-organisasi gerakan sosial lainnya untuk menolak berbagai kebijakan pemerintah (termasuk parlemen) yang pro pasar bebas. Termasuk impor beras, privatisasi air, dan sebagainya. ***

Penulis pegiat Perhimpunan Citra Kasih, Surakarta.

Tulisan ini diambil dari sumber Suara Karya Online/ Opini Edisi Kamis, 15 Desember 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar