Petani,
WTO, dan Jerat Neo-Liberalisme
Kamis, 15 Desember 2005
Mengapa dalam rangka menyelamatkan perekonomian nasional pemerintah tegas
"menumbalkan" kesejahteraan para petani? Bukankah impor beras
dilakukan di saat para petani sedang merayakan panen raya dan di tengah stok
logistik beras nasional mencapai 1,7 juta ton? Namun, menurut pemerintah,
selama 1-2 bulan stok beras nasional menipis hingga tinggal 900 ribu ton.
Padahal dalam tempo 1-2 bulan, komsumsi beras nasional mencapai 800 ribu ton.
Kebijakan impor beras jika ditelaah secara mendalam sebetulnya merupakan
kebijakan "proyeksional" pertanian yang mengacu pada liberalisasi
pertanian. Kebijakan impor beras identik dengan kebijakan liberalisasi
pertanian semenjak zaman Soeharto hingga Megawati Soekarnoputri. Ini merupakan
konsekuensi dari hasil kesepakatan terhadap pasal-pasal AOA (Agreement On
Agriculture) WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) yang disetujui tahun 1995.
Indonesia yang masuk dalam kesepakatan AOA WTO terpaksa memenuhi beberapa
komitmen ekonomi-politik AOA.
Pertama, perluasan pasar. Pemerintah Indonesia harus menerima kenyataan
bahwa pasar domestik bisa diintervensi oleh produk pertanian negara lain.
Demikian pula Indonesia juga harus melakukan kebijakan impor beras. Ini
berdampak sejak 1998/1999 Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia
sebanyak 4,8 juta ton. Indonesia kini bahkan menjadi pembeli beras sebanyak 10%
dari jumlah beras yang diperdagangkan di dunia, sekitar 20-30 juta ton per
tahun. Rata-rata perkiraan permintaan per tahun beras impor mencapai 2,7 juta
ton. Dampak lain perluasan pasar, seperti dicatat Bonnie Setiawan (2003),
terjadi penurunan harga gabah pada 1997 dan tahun-tahun berikutnya, karena
harga gabah ataupun harga beras petani dalam negeri harus disesuaikan atau
dibuat lebih murah dibanding harga beras impor.
Kedua, subsidi domestik. Dalam nota kesepakatan AOA, setiap negara harus
mengurangi beban subsidi bagi petani dan pertanian agar subsidi dari negara
tidak mendistorsi pasar. Sejak 1998, pemerintah akhirnya mencabut subsidi atas
input-input pertanian, termasuk subsudi pupuk, benih ataupun racun hama.
Akibatnya, petani menanggung beban mahalnya harga dan biaya produksi berupa
harga pupuk yang terus merangkak naik, dan juga ongkos produksi lainnya. Dampak
penghapusan subsidi pertanian sejak akhir kekuasaan Soeharto mengakibatkan
biaya produksi menjadi tinggi dan tingkat kecukupan modal petani menjadi
berkurang. Di lain pihak, harga jual gabah di tingkat petani menjadi rendah
sehingga tidak seimbang dengan biaya produksi yang dikeluarkan.
Ketiga, pengeliminasian peran STE (State Trading Enterprises). Negara yang
menyepakati perjanjian pertanian (AOA) WTO harus menghapus peran monopoli Bulog
dalam proses distribusi dan jual beli produk pertanian. Bulog tidak lagi
menjadi pemain tunggal dalam proyek ekspor dan impor produk pangan. Peran Bulog
dibatasi hanya pada proyek ekspor-impor beras dan bukan lagi sebagai
stabilisator harga. Peran pengimpor produk pangan dan pertanian menjadi hak
berbagai perusahaan perorangan dan asing yang beroperasi di Indonesia. Tentu ini
sangat menguntungkan pengusaha importir, pencari rente ekonomi, dan birokrat
korup.
Kebijakan politik pertanian pemerintahan Orde Baru hingga SBY-JK yang
membebek kepentingan perdagangan bebas seperti termaktub dalam pasal-pasal AOA
WTO merupakan bentuk pemarjinalisasian petani. Jika di zaman kolonial petani
menjadi objek pemerasan ekonomi atas nama ideologi kapitalisme agraris; dan di
zaman Orde Baru petani menjadi objek penindasan politik pangan murah dan objek
kebijakan "revolusi Hijau" yang menghancurkan kemandirian petani;
saat ini petani menjadi objek kebijakan politik pertanian yang bercorak
liberal, memihak agenda liberalisasi.
Kebijakan impor beras sendiri ataupun kebijakan pertanian yang mengacu
kepada liberalisasi pertanian sesuai keinginan anggota WTO, merupakan bentuk
pemiskinan petani. Petani di Indonesia yang tidak memiliki kekuatan politik
struktural -- dalam Sensus 1993, 45 juta petani tergolong petani gurem
(subsisten) tanpa pemilikan tanah yang mampu menghasilkan surplus produksi dan
70% tanah pertanian dikuasai oleh petani berdasi -- dipaksa menjadi korban
liberalisasi pertanian. Petani menjadi objek permainan harga sarana produksi
pertanian, seperti mahalnya harga pupuk, benih, dan racun hama. Di satu sisi
racun hama dikuasai oleh perusahaan-perusahaan TNC (Trans National
Corporations), sedangkan di sisi lain harga jual produk pertanian dibatasi oleh
kebijakan politik pangan murah. Sekarang masih harus "digempur" oleh
masuknya produk beras impor dengan harga pasaran yang lebih rendah.
Kebijakan pertanian pemerintahan Soeharto hingga SBY-JK selalu
memarginalisasi petani. Sementara negara-negara maju semacam AS, China, Eropa,
Jepang cenderung bersikap ambivalen dengan tetap memroteksi keberlangsungan
pertanian dalam negeri. Dari fakta itu, boleh jadi petani Indonesia telah
dijadikan tumbal kekuasaan. Kebijakan pertanian di AS sejak lama sampai
sekarang masih mengandalkan New Deal Farms (NDF) dan Uni Eropa mengandalkan
Common Agricultural Policy (CAP), yang isinya memberikan proteksi atas pembangunan
sektor pertanian. Sampai sekarang kebijakan pertanian di AS, China, Uni Eropa
terus melindungi kepentingan petani domestik. Meski mereka bermain
"culas" melalui AOA WTO dengan memaksa negara dunia ketiga untuk
membuka pasar pangannya.
Beban penderitaan petani akibat kebijakan pertanian yang pro-liberalisasi
pertanian, ternyata bertambah berat karena petani juga menjadi korban dari
kebijakan ekonomi-politik negara yang memuat agenda neo-liberalisme. Dari
kebijakan privatisasi air -- yang membuat sumber air menjadi komoditas --,
berdampak hak serta akses air bagi pertanian semakin berkurang. Dalam sebuah
penelitian, hak petani atas penggunaan sumber daya air tahun 2004 tinggal 50%
dan justru sumber air banyak digunakan untuk kepentingan komersialisasi oleh
berbagai perusahan AMDK (air minum dalam kemasan). Petani di Indonesia pun
semakin terbebani oleh kenaikan harga BBM mengingat sarana teknologi pertanian
di Indonesia juga tergantung kepada teknologi dasar yang menggunakan enerji
BBM.
Melihat realitas di atas, petani Indonesia memerlukan kesadaran politik
untuk membangun gerakan anti-neo-liberalisme. Mereka harus membangun gerakan
sosial, yang bertujuan merombak kebijakan pertanian negara yang pro pasar bebas
menjadi kebijakan yang memihak petani. Petani dalam berbagai wadah organisasi
petani bisa bergabung dengan organisasi-organisasi gerakan sosial lainnya untuk
menolak berbagai kebijakan pemerintah (termasuk parlemen) yang pro pasar bebas.
Termasuk impor beras, privatisasi air, dan sebagainya. ***
Penulis pegiat Perhimpunan Citra Kasih, Surakarta.
Tulisan ini diambil dari sumber Suara Karya
Online/ Opini Edisi Kamis, 15 Desember 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar